BUSINESS

CSIS: Kelangkaan Minyak Goreng Imbas Ketidakwaspadaan Pemerintah

Perlu kontrol kuat pemerintah pada pelakasanaan DMO

CSIS: Kelangkaan Minyak Goreng Imbas Ketidakwaspadaan PemerintahANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.
24 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Kelangkaan minyak goreng yang terjadi di tengah masyarakat beberapa waktu terakhir mencerminkan ketidakwaspadaan pemerintah dalam melihat perkembangan tingkat persediaan dan permintaan. Hal itu diungkapkan Kepala Bidang ekonomi Center for Strategic and International Studies, Fajar Hirawan, (CSIS).

“Memang sudah ada kebijakan untuk memenuhi kebijakan domestik melalui DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation), tapi kalau kita bicara tentang kebijakan harga bahan makanan, menurut saya kurang bagus,” ujar Fajar.

Pemerintah seharusnya mengetahui, Indonesia masih sangat bergantung pada komoditas yang sifatnya ekstraktif, seperti batu bara atau minyak sawit mentah (CPO). 

Menurut Fajar, kelangkaan pasti akan terjadi ketika kebijakan penetapan harga, khususnya harga eceran tertinggi (HET). “Neraca komoditas masih sangat penting, sehingga kita bisa tahu apakah persediaan di dalam negeri cukup atau tidak, terutama dalam hal pergerakannya dari tahun ke tahun,” ujarnya dalam diskusi mengenai masa depan ekonomi minyak kelapa sawit secara daring, Kamis (24/2).

Mekanisme kontrol DMO harus diperkuat

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki),Joko Supriyono, berpendapat kenaikan harga bahan baku seringkali diikuti oleh polemik di tataran masyarakat. 

Berdasarkan data Gapki, ekspor CPO dan Olein mencapai 28 juta ton, dengan demikian 20 persen DMO yang dikhususkan untuk pasar domestik adalah sekitar 5,7 juta ton. “Sebenarnya kebutuhan minyak goreng di Indonesia yang memang segitu. Jadi, mestinya DMO bisa dijalankan,” ucapnya.

Namun, terkait kelangkaan yang terjadi, Joko berpendapat harus ada mekanisme kontrol yang kuat dari pemerintah pada menerapkan kebijakan DMO. “Artinya, kran masuk di satu sisi 20 persen masuk, di sisi keluarnya sebagai minyak goreng juga harus 20 persen. Jangan sampai, sudah dialokasikan 20 persen, kok tetap langka. Harus dipastikan match,” katanya.

Pelambatan ekspor dapat terjadi karena situasi saling tunggu

Kebijakan DMO dan DPO yang diambil oleh pemerintah, dinilai berpotensi menimbulkan pelambatan ekspor CPO Indonesia. Namun demikian, hal ini sbersifat sementara akibat keterkejutan pasar akibat kenaikan harga CPO.

Menurut Joko, ada kemungkinan pengusaha sawit dan menahan ekspor karena belum memenuhi kewajiban alokasi 20 persen CPO bagi kebutuhan domestik. Namun, ini semata karena ada perbedaan persepsi, dimana pemerintah menganggap pelaku usaha harus mengalokasikan 20 persen baru mendapat izin ekspor namun pelaku usaha berpikir sebaliknya. “Ini yang saya katakan ada saling tunggu,” ucapnya.

Situasi ini, kata Joko, tidak bisa dinilai dalam waktu jangka pendek. “Mestinya sih harus dievaluasi selama kurang lebih 2-3 bulan ke depan,“ tuturnya.

Related Topics