BUSINESS

Tantangan Industri Petrokimia RI yang Digadang jadi Nomor 1 di ASEAN

Mulai dari biaya produksi hingga isu lingkungan.

Tantangan Industri Petrokimia RI yang Digadang jadi Nomor 1 di ASEANIlustrasi anjungan migas. (Pixabay/466654)
14 April 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah menargetkan industri petrokimia Indonesia jadi peringkat satu di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Namun, dalam perjalanannya, terdapat sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan ke depan. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan salah satu tantangan terbesar ada pada masalah biaya produksinya yang besar–yang juga berdampak ke biaya operasional dan distribusi. Ini dikarenakan situasi harga minyak mentah dan gas dunia yang sedang melonjak di tengah kondisi geopolitik yang tidak menentu. Padahal  komoditas ini jadi bahan bakar utama di hulu petrokimia.

“Industri pupuk juga mengeluhkan harga gas mengalami kenaikan karena konflik Rusia-Ukraina. Jadi, pasokan dari bahan baku pupuknya juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dan banyak negara berebutan bahan baku tersebut,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Kamis (14/4).

Kesulitan mengintegrasikan usaha

Pabrik pupuk.
Pabrik pupuk. (dok. Petrokimia Gresik)

Tantangan selanjutnya, menurut Bhima, adalah integrasi yang bertujuan untuk menurunkan biaya produksia. Namun, upaya ini menurutnya sulit dilakukan perusahaan-perusahaan petrokomia di Indonesia, khususnya perusahaan asing.

“Jadi kalau dia masuk ke upstream-nya, maka nggak boleh masuk ke downstream-nya,” kata Bhima. “Pemerintah seharusnya mendorong joint ventures dengan produsen lokal di level upstream atau downstream, intinya adalah meningkatkan kerja sama, supaya biaya produksinya bisa lebih murah karena masih dalam satu grup joint ventures yang sama.”

Belum lagi masalah biaya logistik untuk distribusi bahan baku di Indonesia yang masih mahal. “Di Indonesia ini kan cukup mahal, 23,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Malaysia mungkin tidak setinggi Indonesia,” ujarnya.

Krisis talenta dan SDM

Ilustrasi : kegiatan pengeboran minyak
Dok. Pertamina

Related Topics