Tantangan Industri Petrokimia RI yang Digadang jadi Nomor 1 di ASEAN
Mulai dari biaya produksi hingga isu lingkungan.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah menargetkan industri petrokimia Indonesia jadi peringkat satu di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Namun, dalam perjalanannya, terdapat sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan ke depan.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan salah satu tantangan terbesar ada pada masalah biaya produksinya yang besar–yang juga berdampak ke biaya operasional dan distribusi. Ini dikarenakan situasi harga minyak mentah dan gas dunia yang sedang melonjak di tengah kondisi geopolitik yang tidak menentu. Padahal komoditas ini jadi bahan bakar utama di hulu petrokimia.
“Industri pupuk juga mengeluhkan harga gas mengalami kenaikan karena konflik Rusia-Ukraina. Jadi, pasokan dari bahan baku pupuknya juga mengalami penurunan yang cukup signifikan dan banyak negara berebutan bahan baku tersebut,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Kamis (14/4).
Kesulitan mengintegrasikan usaha
Tantangan selanjutnya, menurut Bhima, adalah integrasi yang bertujuan untuk menurunkan biaya produksia. Namun, upaya ini menurutnya sulit dilakukan perusahaan-perusahaan petrokomia di Indonesia, khususnya perusahaan asing.
“Jadi kalau dia masuk ke upstream-nya, maka nggak boleh masuk ke downstream-nya,” kata Bhima. “Pemerintah seharusnya mendorong joint ventures dengan produsen lokal di level upstream atau downstream, intinya adalah meningkatkan kerja sama, supaya biaya produksinya bisa lebih murah karena masih dalam satu grup joint ventures yang sama.”
Belum lagi masalah biaya logistik untuk distribusi bahan baku di Indonesia yang masih mahal. “Di Indonesia ini kan cukup mahal, 23,5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Malaysia mungkin tidak setinggi Indonesia,” ujarnya.
Krisis talenta dan SDM
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah krisis talenta yang terkait dengan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut Bhima, ini manjadi masalah yang serius bagi Indonesia untuk mendatangkan SDM yang punya kualifikasi di bidang hilirisasi petrokimia.
“Solusinya, harus banyak pendidikan vokasi-vokasi yang fokus untuk memasok SDM di bidang petrokimia. Ini harus diperbanyak di dekat kawasan-kawasan industri petrokimia,” ucap Bhima mencoba menguraikan solusi.
Potensi besar petrokimia di tengah isu ramah lingkungan
Bhima berpendapat bahwa petrokimia adalah sektor yang memiliki potensi besar. Dilihat dari penerimaan negara dalam bentuk pajak, industri petrokimia setidaknya menyumbang 10-15 persen dari total penerimaan pajak negara setiap tahunnya.
“Jadi, kontribusinya memang cukup besar, karena ada pupuk, ada plastik, dan turunan produk petrokimianya sangat beragam, jadi wajar kontribusinya pun relatif besar,” kata Bhima.
Namun, melihat perkembangan ekonomi hijau yang terus digencarkan, maka Bhima berharap industri petrokimia dapat bersiap untuk mulai beralih. Hal ini dapat dilakukan mulai dari hulu hingga hilir, seperti soal peralihan bahan bakar industri yang menggunakan energi terbarukan, kemudian cara mengatasi pencemaran lingkungan, serta pemilihan produk substitusi yang dihasilkan di hilir.
“Ketika industri migas mulai ‘redup’ dan beralih ke sumber yang lebih ramah lingkungan, petrokimia juga harus mulai beralih kepada produk alternatif lain, walau proses pengolahannya tidak jauh berbeda dari cara-cara sebelumnya,” ujar Bhima.
Target Menperin jadikan industri petrokimia RI nomor satu di ASEAN
Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, menargetkan industri petrokimia Indonesia jadi nomor satu di kawasan ASEAN. Menurutnya, Industri petrokimia merupakan industri strategis di tingkat hulu yang berperan bagi berkembangnya industri di tingkat hilir seperti plastik, serat kain, tekstil, kemasan, elektronika, otomotif, obat-obatan dan industri-industri penting lainnya.
“Karenanya, kami terus mendorong investasi di industri kimia, khususnya untuk memperkuat komoditas pada sektor kimia hulu dan mampu menyubstitusi produk petrokimia yang masih banyak diimpor seperti Etilena, Propilena, BTX, Polietilena (PE), dan Polipropilena (PP),” ujar Menteri Agus, seperti dikutip dari laman Kemenperin, Rabu (13/4).
Pemerintah akan terus berupaya untuk mewujudkan iklim usaha industri petrokimia yang kondusif, supaya investasi terus tumbuh. Beberapa hal yang dilakukan antara lain, pemberian insentif gas bumi, pengendalian impor dan pengamanan pasar dalam negeri, optimalisasi pemanfaatan pasar dalam negeri dan pasar ekspor, program peningkatan produksi dalam negeri (P3DN) dan pemberian berbagai insentif fiskal.
Saat ini kapasitas industri nasional untuk produk-produk tersebut mencapai 7,1 juta ton per tahun. Namun, impor produk kimia juga masih sangat signifikan, yaitu mencapai 4,6 juta ton pada tahun 2020. Hal ini mengindikasikan perlunya upaya peningkatan kapasitas produksi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.