FINANCE

Menkeu: Indonesia Harus Berperan Hadapi Ancaman Perubahan Iklim

ESG adalah platform policy untuk pembangunan berkelanjutan.

Menkeu: Indonesia Harus Berperan Hadapi Ancaman Perubahan IklimSri Mulyani, Menteri Keuangan, saat menjadi keynote speaker pada ESG Capital Market Summit, Selasa (27/7). (FORTUNEIDN)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Perubahan iklim adalah ancaman nyata bagi banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyatakan Indonesia seharusnya ikut berperan menangani risiko ini.

“Kita harus mampu mendudukkan Indonesia di dalam konteks ancaman global ini, sekaligus mendudukkan Indonesia di dalam konteks kesiapan kita sehingga kita tidak didikte. Kita justru juga ikut membentuk apa yang disebut tatanan global baru,” ujar Sri Mulyani dalam acara virtual ESG Capital Market Summit 2021, Selasa (27/7). 

Dalam hematnya, Indonesia dan negara berkembang lain tertantang untuk menyesuaikan diri dengan kesepakatan pembangunan dengan emisi karbon rendah sesuai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan Kesepakatan Paris. 

Menurut Sri Mulyani, salah satu formula dalam strategi pembangunan rendah karbon adalah penerapan pembangunan berkelanjutan dalam kerangka lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). 

“Setiap pembangunan identik dengan emisi karbon yang lebih besar. Sekarang dunia berikhtiar bagaimana kita tetap membangun, namun emisi karbonnya rendah,” ujarnya. Bahkan, menurutnya, jika ada yang menghasilkan karbon, harus ada yang langsung menetralisirnya.

Pemerintah Indonesia memiliki sejumlah inisiatif dalam lingkup Kementerian Keuangan untuk menghadapi perubahan iklim. Pertama, Kemenkeu menjadi bagian koalisi menteri keuangan untuk aksi perubahan iklim dan berbagi kepemimpinan dengan menteri keuangan Finlandia.

Berikutnya, Indonesia mengambil bagian lebih sebagai salah satu negara di G20 yang juga membahas aspek keuangan terkait perubahan iklim dalam kelompok kerja keuangan berkelanjutan. 

Dalam kaitan ini, Indonesia sebagai presiden G20 mulai 2022 akan mengusung 5 area yang dibahas perihal perubahan iklim. Hal-hal tersebut yakni penyelarasan arus keuangan; akses terhadap informasi andal dan tepat waktu; penilaian pengelolaan risiko iklim dan keberlanjutan; optimalisasi pendanaan publik dan sistem insentif; dan masalah lintas sektoral seperti katalisasi teknologi, inovasi dan digitalisasi, serta strategi transisi keuangan.

“5 hal ini nantinya sangat berkaitan erat dengan teman-teman di pasar modal karena ini adalah domain keuangan. Tetapi, sekarang kita mengintegrasikan aspek keberlanjutan dan ancaman perubahan iklim di dalam semua pengambilan keputusan di bidang keuangan,” katanya.

Perusahaan reasuransi global, Swiss Re Institute (SRI), pada April memperkirakan bahwa perekonomian dunia berisiko kehilangan 11-14% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) akibat dampak perubahan iklim pada 2050. 

Asia diperkirakan menelan risiko terparah dengan lima negara diproyeksi terdampak paling buruk, yakni Thailand, India, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Tiongkok diprediksi kehilangan 18 persen PDB jika skenario terburuk terjadi. Amerika Serikat (AS) berpotensi kehilangan 7 persen, dan Uni Eropa kehilangan 8 persen PDB.

Kemenkeu, demikian Sri Mulyani, terus berupaya memasukkan isu perubahan iklim dalam berbagai kebijakan pemerintah. Karenanya, dia mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat umum untuk saling berkomunikasi, berkoordinasi, dan berinteraksi untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. “Sama seperti pandemi, tidak ada negara yang bisa escape atau terbebas dari ancaman perubahan iklim,” ujarnya.