FINANCE

Seberapa Besar Dampak Tapering Off The Fed bagi Indonesia?

Waspadai gejolak pasar keuangan hingga pelemahan rupiah.

Seberapa Besar Dampak Tapering Off The Fed bagi Indonesia?Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Shuterstock/Costello77
27 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, 24 September 2021 – Tapering off yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserves (The Fed) akhir 2021 nanti akan menjadi pembicaraan hangat. Kebijakan tersebut lantas mendapat perhatian dari banyak pihak, terutama investor yang khawatir dengan potensi dampak yang ditimbulkan terhadap pasar.

Tapering off sendiri adalah pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Indikator tapering off

Pada umumnya, indikator pengukur kapan tapering off dilaksanakan adalah ketika inflasi mengalami keseimbangan, tingkat pengangguran menuju normal, hingga pemulihan tingkat kredit atau pinjaman yang menandakan ekonomi mulai aktif kembali.


Pada Agustus 2021, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di kisaran 0-0,25 persen dalam rapat Federal Open Market Committee. Namun, Ketua The Fed, Jerome Powell sudah mengisyaratkan mulai mempertimbangkan untuk melakukan tapering off atau pengurangan stimulus besar–besaran di tahun ini. Meskipun demikian, Powell juga memperingatkan bahwa mulainya tapering pembelian asset tidak dapat diinterpretasikan sebagai sinyal segera menyusulnya kenaikan suku bunga.

Awalnya para pengamat ekonomi AS pun memperkirakan kebijakan tapering off kemungkinan akan terjadi paling cepat pada 21–22 September, tapi kini mereka memperkirakan kebijakan ini akan mulai dilakukan pada November atau Desember 2021 karena ketidakpastian yang ditimbulkan virus Covid-19 varian Delta dan masih tingginya tingkat pengangguran di Amerika Serikat.

"Ini membuat The Fed dalam mode 'wait and see' pada rapat perumusan kebijakan mereka di September. Jangka waktu ini bisa saja lebih lama dari yang diperkirakan banyak orang, tergantung dampak varian Delta dan pencapaian vaksinasi," papar Diane Swonk, Kepala Ekonom Grant Thornton LLP, Jumat (24/9).

Indonesia jadi 1 dari 10 negara yang diprediksi terdampak

Tidak dapat dipungkiri, tapering off yang pernah dilakukan The Fed tahun 2013 lalu terbukti memicu taper tantrum, yaitu sebuah keadaan gejolak pasar keuangan ketika The Fed mengetatkan kebijakan moneternya. Investasi asing yang saat itu mendominasi pasar modal Indonesia pun menarik uang mereka dan memutuskan untuk menaruh dana di pasar modal Amerika Serikat karena dianggap lebih menarik.

Efeknya, rupiah yang sempat berada di bawah Rp10 ribu per dolar AS anjlok hingga ke level 12.000 per dolar AS diikuti jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke level 4.200 di akhir 2013 dari sebelumnya yang berada di level 5.200. Efek kebijakan tersebut bahkan berdampak panjang pada tren pelemahan rupiah hingga melewati 14.000 per dolar di 2015.

Bagaimana dengan risiko yang dihadapi Indonesia tahun ini? Dalam riset yang dipublikasikan oleh Nomura Research Institute, sebuah lembaga riset ekonomi terbesar di Jepang, Indonesia masuk ke daftar 10 negara rentan (fragile 10) terdampak bersama Brasil, Kolombia, Chili, Peru, Hongaria, Rumania, Turki, Afrika Selatan, dan Filipina jika tapering off dilakukan. Sebelumnya, Nomura juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar 5 negara berkembang rentan selama taper tantrum di 2013 bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.

Nomura menyebutkan penyebab rentannya 10 negara tersebut adalah kombinasi dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi yang meningkat, dan berkurangnya kekuatan fiskal. Situasi di negara-negara berkembang di mana inflasi lebih tinggi daripada suku bunga juga menjadi sumber kerentanan.

Related Topics