FINANCE

Aturan Teknis PPS Disiapkan untuk Pengemplang Pajak

Program pengungkapan sukarela akan berlangsung 6 bulan.

Aturan Teknis PPS Disiapkan untuk Pengemplang PajakSri Mulyani, Menteri Keuangan RI. (Flickr)
by
15 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah memberikan kesempatan bagi para pengemplang pajak untuk ikut program pengampunan pajak lewat Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Kebijakan ini akan berlangsung selama enam bulan, yaitu dari 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sedang dalam tahap finalisasi aturan turunan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tersebut. “Untuk peraturan turunan, akan kami selesaikan terutama untuk PPS, terkait mekanisme, hingga prosedur,” katanya dalam Sosialisasi UU HPP yang disiarkan secara virtual, Selasa (14/12).

Menurutnya, pemerintah tengah menyelaraskan aturan turunan tersebut secara terperinci hingga menyinggung urusan penempatan dalam Surat Berharga Negara (SBN) atau investasi di hilirisasi. Direktorat Jenderal Pajak diminta belajar dari program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016–2017 agar PPS ini berjalan lancar.

Salah satu hal yang Sri Mulyani garis bawahi adalah penyediaan informasi. “Jadi kepada semua Kanwil DJP dapat menjelaskannya dengan baik, karena di sini saya sudah jelaskan dengan sangat clear. Jangan sampai malah nanti ada keruwetan-keruwetan kepada wajib pajak yang ingin ikut program ini,” ujarnya.

Denda besar menanti

Sri Mulyani mengimbau wajib pajak yang belum atau kurang melaporkan hartanya hingga Desember 2020 untuk mengikuti program tersebut agar terhindar dari tagihan sanksi lebih besar. "Kalau anda tidak ikut (PPS), untuk harta 2016–2020 maka akan dikenakan PPh final, plus kami akan mengenakan sanksi bunga per bulan plus uplift factor," ujarnya.

Sri Mulyani mengatakan program ini hanya akan berlangsung hingga 30 Juni 2022. Dengan demikian, tarif lebih tinggi dan sanksi tambahan akan ditujukan pada setiap harta yang belum atau kurang dilaporkan dan diikutkan PPS.

Pada skema pertama, harta hingga 2015 yang tidak juga diikutsertakan dalam PPS akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final dari harta bersih tambahan tersebut dengan tarif 25 persen untuk badan, 30 persen untuk orang pribadi dan 12,5 persen untuk wajib pajak tertentu.

Selain itu, Kementerian Keuangan akan mengenakan sanksi tambahan 200 persen atas aset yang kurang diungkap. Skema kedua, harta pada 2016-2020 yang tidak dilaporkan dalam PPS akan dikenakan PPh final dengan tarif 30 persen dari harta bersih tambahan. Kemudian, untuk aset yang kurang diungkap, akan dikenakan sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 20 persen.

Skema PPS tawaran pemerintah

Sri Mulyani mengatakan sanksi tersebut jauh lebih berat dibandingkan penawaran yang disediakan pemerintah dalam program PPS. Bagi wajib pajak akan dikenakan tarif final yang beragam tergantung dalam perolehan skema penyelesaian yang dipilih.

Skema pertama, untuk harta sebelum Desember 2015 akan berlaku tarif sebagai berikut:

  • Tarif 6 persen untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
  • Tarif 8 persen untuk harta dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN.
  • Tarif 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Skema kedua, untuk harta mulai 2016 sampai Desember 2020 akan berlaku tarif sebagai berikut:

  • Tarif 12 persen untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, kemudian diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau sektor energi terbarukan di dalam negeri atau bisa juga jenis harta yang diparkirkan di SBN.
  • Tarif 14 persen untuk harta di dalam negeri dan luar negeri yang direpatriasi, tetapi tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan SDA atau energi terbarukan di dalam negeri atau tidak juga di SBN.
  • Tarif 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Related Topics