FINANCE

Jokowi Sesuaikan Aturan PPh untuk 2023, Ini Perinciannya

Penyesuaian PPh diatur dalam PP 55/2022.

Jokowi Sesuaikan Aturan PPh untuk 2023, Ini PerinciannyaIlustrasi Pajak Kripto. Shutterstock/Wit Olszewski.
27 December 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merilis ketentuan baru pajak penghasilan (PPh) bagi wajib pajak orang pribadi (OP) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. 

Ini merupakan aturan turunan Undang-Undang nomor 7 tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan di DPR pada Oktober lalu.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Neilmaldrin Noor, menjelaskan PP tersebut bertujuan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penyederhanaan, dan kemudahan administrasi perpajakan, serta pencegahan praktik penghindaran pajak.

“Dalam beleid ini, beberapa ketentuan bersifat meneruskan amanah Pasal 32C UU HPP untuk selanjutnya diatur di Peraturan Menteri Keuangan,” ujarnya dikutip dari keterangan resmi, Selasa (27/12). 

Berikut detail penyesuaian PPh dalam beleid tersebut

Penyusutan harta berwujud/amortisasi harta tidak berwujud 

Untuk penyusutan harta berwujud berupa bangunan permanen dan/atau amortisasi harta tidak berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun, Wajib Pajak dapat memilih menggunakan masa manfaat 20 tahun berdasarkan UU PPh atau masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan syarat taat asas. 

Khusus untuk harta yang dimiliki sebelum tahun pajak 2022 dan telah disusutkan/diamortisasi sesuai masa manfaat dalam UU PPh, Wajib Pajak masih dapat memilih menggunakan masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pajak natura 

Untuk ketentuan pemberian natura dan/atau kenikmatan, yang sebelumnya bukan merupakan objek pajak bagi pihak penerima dan tidak dapat dibebankan bagi pihak pemberi, saat ini menjadi objek pajak bagi pihak penerima dan dapat dibebankan bagi pihak pemberi (taxable and deductable). 

Namun, ada pula yang dikecualikan dari pengenaan pajak (nontaxable) natura dan/atau kenikmatan tersebut, antara lain:

  • makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
  • natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan;
  • natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai APBN/APBD/APBDesa;
  • atau natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Ketentuan ini berlaku sejak tahun pajak 2022. 

Neil juga mengatakan kewajiban pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Januari 2023.

Jika diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, maka PPh atas penghasilan tersebut wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2022 oleh penerimanya.

PPh final usaha dengan peredaran bruto tertentu

Kemudian, ada juga penyesuaian pengaturan terkait PPh final atas penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto tertentu sampai dengan Rp4,8 miliar yang sebelumnya diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 (PP-23/2018). 

Selain orang pribadi, subjek pajak dalam aturan ini juga termasuk Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma). 

Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai PPh final 0,5 persen. Walaupun dengan adanya PP ini, jangka waktu tertentu pengenaan PPh final tetap meneruskan jangka waktu berdasarkan PP-23/2018 atau tidak diulang dari awal.

Pencegahan penghindaran pajak

Selain itu, ada pula dua bab yang mengatur ketentuan pajak internasional, yaitu Bab VII tentang Instrumen Pencegahan Penghindaran Pajak dan Bab VIII tentang Penerapan Perjanjian Internasional di bidang Perpajakan.

Instrumen pencegahan penghindaran pajak menggunakan instrumen pencegahan yang spesifik untuk skema penghindaran pajak tertentu serta penerapan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya. Ini antara lain berupa: (a) pembatasan biaya pinjaman, (b) pengaturan controlled foreign company, (c) pencegahan dan penanganan sengketa transfer pricing, (d) penanganan skema special purpose company, (e) penanganan hybrid mismatch arrangement. Jika instrumen pencegahan spesifik tidak dapat digunakan, Dirjen Pajak dapat menerapkan prinsip substance over form.

Sementara itu, perjanjian internasional di bidang perpajakan dilakukan untuk mengantisipasi penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, pertukaran informasi perpajakan, bantuan penagihan pajak, dan kerja sama perpajakan lainnya.

Related Topics