FINANCE

Harga Minyak Dunia Melejit, Indonesia Perlu Waspada Efeknya ke Inflasi

Dampak inflasi masih tertahan subsidi BBM dari pemerintah.

Harga Minyak Dunia Melejit, Indonesia Perlu Waspada Efeknya ke InflasiShutterstock/Red ivory
22 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Indonesia diminta untuk menyikapi secara hati-hati tren kenaikan harga minyak dunia saat ini. Pasalnya, kenaikan harga komoditas tersebut bisa berdampak pada laju inflasi dalam negeri.

Trading Economics mencatat, harga minyak dunia versi Brent, misalnya, pada perdagangan Jumat (22/10) telah mencapai US$84,1 per barel. Posisi harga ini dalam sebulan terakhir meningkat 8,85 persen. Bahkan, secara tahunan (year-on-year/yoy) juga tumbuh 101,3 persen.

Begitu juga harga versi West Texas Intermediate (WTI) yang di waktu bersamaan mencapai US$82,0 per barel. Itu artinya posisi harga WTI ini juga naik 105,8 persen. Harga minyak baik versi Brent maupun WTI posisinya juga sudah melebihi era sebelum pandemi Covid-19.

Bank Dunia dalam laporan terbarunya “Prospek Pasar Komoditas” mengingatkan bahwa tren lonjakan harga energi— termasuk minyak mentah—bisa berdampak terhadap tekanan inflasi global. Lembaga ini bahkan memperkirakan harga energi akan tetap tinggi pada 2022.

“Lonjakan harga energi menimbulkan risiko jangka pendek yang signifikan terhadap inflasi global dan, jika berkelanjutan, juga dapat membebani pertumbuhan di negara-negara pengimpor energi,” kata Kepala ekonom dan Direktur Grup Prospek Bank Dunia, Ayhan Kose, dalam keterangan pers, Jumat (22/10).

Menurut Kose, rebound tajam pada harga komoditas saat ini ternyata lebih dari yang diprediksikan sebelumnya. Volatilitas harga energi baru-baru ini, katanya, dapat memperumit pilihan kebijakan sejumlah negara yang tengah pulih dari perlambatan ekonomi tahun lalu.

Bank Dunia menyebutkan, harga minyak pada 2020 diproyeksikan mencapai US$74 per barel, menurun dari tahun ini, namun masih lebih tinggi dari era sebelum pandemi. Menurut lembaga ini, permintaan komoditas ini menguat karena sebagai pengganti gas alam yang harganya juga naik. 

Lembaga ini menambahkan, harga gas alam (dan juga batu bara) sedang mencapai rekor tertinggi karena kendala pasokan dan permintaan listrik yang meningkat. Meskipun harga kedua komoditas itu diperkirakan turun pada 2022, namun lonjakan harga dapat terjadi dalam waktu dekat di tengah persediaan yang sangat rendah dan hambatan pasokan.

Laporan Bank Dunia menyatakan bahwa ada sejumlah risiko besar, mulai dari cuaca buruk, pemulihan Covid-19 yang tidak merata, ancaman lebih banyak wabah, gangguan rantai pasokan, hingga kebijakan lingkungan. Berbagai risiko ini bisa membuat harga pangan naik bersamaan dengan tren lonjakan harga energi, “Hal ini mendorong inflasi harga pangan naik dan meningkatkan kekhawatiran ketahanan pangan di beberapa negara berkembang,” katanya.

Bergantung pemerintah

Pedagang tertidur menunggu pembeli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/9/2021)
Pedagang tertidur menunggu pembeli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/9/2021). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/hp.

Direktur Center of Reform on Economics (Core), Mohammad Faisal, berpendapat kenaikan harga minyak dunia yang berdampak terhadap laju inflasi domestik memang berpotensi terjadi. Namun, hal itu sepanjang pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri.

“Selama harga BBM itu tidak dinaikkan, maka dampak ke inflasi juga relatif sangat kecil atau hampir bisa dibilang tidak ada. Karena harga minyak di dalam negeri ini kan tidak sepenuhnya mengikuti harga pasar tapi juga diatur oleh pemerintah. Walaupun, penentuan harga pemerintah itu juga mengikuti harga minyak di pasaran internasional,” kata Faisal kepada Fortune Indonesia.

Menurut Faisal, bila pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM maka yang pertama terjadi adalah inflasi pada sektor transportasi. Setelahnya, kenaikan itu juga akan berimbas kepada harga barang-barang pokok terutama inflasi makanan-minuman. “Tapi syaratnya harus itu dulu ada kenaikan harga BBM,” katanya.

Kepala ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual, juga mengatakan sampai saat ini kenaikan harga minyak dunia belum tertransmisikan ke tingkat inflasi dalam negeri. Sebab, kenaikan harga tersebut masih tertahan oleh bantalan dari subsidi pemerintah.

“Selama minyaknya masih terkendali di kisaran US$80 dolar per barel saya pikir masih tidak apa-apa. Tapi kalau naik sampai US$90 atau US$100 per barel, nah ini yang mungkin bisa menjadi beban,” kata David kepada Fortune Indonesia.

Terlepas dari kenaikan harga minyak, David mewanti-wanti bahwa risiko kenaikan inflasi akan tetap ada mengingat saat ini harga berbagai komoditas terutama dari sisi input bahan baku maupun produksi juga meningkat. Dia mencontohkan, kenaikan harga komoditas itu bisa terlihat dari, misalnya, biaya pengiriman kontainer di tingkat internasional yang melonjak.

Di saat bersamaan, lanjutnya, tingkat permintaan (demand) domestik juga ke depannya akan menggeliat seiring pelonggaran pembatasan sosial. Kondisi ini, kata dia, yang bisa memicu produsen menaikkan harga barangnya sejalan dengan kenaikan harga produksi tersebut.

“Terutama untuk harga makanan-minuman. Karena inflasi Indonesia ini kan bobotnya masih besar di makanan. Jadi pemerintah harus mengendalikan harga pangan ini,” katanya. David memperkirakan, kenaikan inflasi ini secara umum akan terjadi pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan.

Related Topics