Sri Mulyani Beberkan Sejumlah Risiko Ekonomi Global 2022, Apa Saja?
Perekonomian dunia pada 2022 diperkirakan melambat.
16 December 2021
Jakarta, FORTUNE – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan kewaspadaannya perihal sejumlah risiko perekonomian global tahun depan. Berbagai perkara itu dapat menimbulkan dampak pada perekonomian negara-negara dunia termasuk Indonesia.
“Tahun depan seiring dengan ketidakpastian terutama di negara maju dan juga adanya dampak inflasi yang cukup tinggi maka kami melihat outlook 2022 untuk global economy tidak sebaik untuk tahun 2021,” kata Sri Mulyani dalam sebuah webinar, Rabu (15/12).
Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, memprediksi ekonomi dunia tahun depan hanya tumbuh 5,7 persen, turun dari perkiraan 5,9 persen pada 2021. Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) proyeksinya bahkan lebih rendah: 4,9 persen pada 2021 menjadi 4,5 persen tahun depan.
Lalu, apa saja sejumlah risiko perekonomian global menurut Sri Mulyani tahun depan?
1. Inflasi di negara maju dan kebijakan moneter
Kompleksitas perekonomian tahun depan terutama datang dari perkara inflasi di negara maju, yaitu Amerika Serikat (AS) dan kawasan ekonomi Uni Eropa. Per November 2021, tingkat inflasi AS mencapai 6,8 persen, melonjak dari 5,4 persen pada pertengahan tahun ini. Lalu, inflasi Uni Eropa mencapai 4,1 persen, naik dari 1,9 persen.
“Dengan inflasi tinggi AS akan melakukan tapering mungkin lebih dini dan lebih cepat. Dan itu dampaknya ke seluruh dunia. Demikian juga di Eropa tempat bank sentralnya juga akan dihadapkan pada opsi untuk melakukan penanganan inflasi melalui pengetatan moneter,” katanya.
Dalam bahan paparannya, dampak yang bisa muncul dari risiko ini adalah peningkatan volatilitas pasar keuangan seperti risiko penurunan arus modal, depresiasi mata uang rupiah, kenaikan imbal hasil (termasuk surat berharga negara), dan penurunan harga saham.
2. Perekonomian Tiongkok
Risiko juga bisa mencuat dari perekonomian Tiongkok, kata Sri Mulyani. Sebab, negara itu akan melakukan penyesuaian yang berdampak pada ekonomi regional maupun global.
Salah satu penyesuaian dilakukan untuk menanggapi krisis properti di negara tersebut. Perusahaan properti raksasa, Evergrande Group, tengah menghadapi krisis utang.
Pemerintahan Tiongkok juga akan mempercepat usaha menuju ekonomi hijau. Hal itu dilakukan dengan menyetop pembiayaan energi fosil, khususnya batu bara.
Sejumlah perkara itu diyakini akan berdampak pada terganggunya rantai pasok dalam negeri khususnya industri manufaktur dan penurunan permintaan terhadap barang ekspor mitra dagang kedua negara.
3. Gangguan rantai pasok
Masalah gangguan rantai pasok juga akan berpengaruh pada inflasi dunia. Disrupsi tersebut berpotensi terjadi akibat biaya transportasi dan distribusi seperti pengiriman kontainer (shipping). Gangguan juga bisa datang dari suplai tenaga kerja yang tidak sanggup mengimbangi sisi permintaan yang melonjak.
Imbas dari kondisi itu yakni kenaikan harga komoditas energi dan pangan, naiknya biaya input (terutama barang-barang yang masih harus diimpor), dan kenaikan biaya produsen yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan biaya impor.
4. Perubahan iklim
Terakhir, ikhtiar negara-negara dunia untuk memerangi masalah perubahan iklim juga perlu diwaspadai. Sebab, upaya itu dapat berakibat kepada harga komoditas khususnya energi.
“Ini semuanya adalah faktor lingkungan global yang begitu dinamis yang tentu dampaknya adalah sering sangat signifikan dan menimbulkan spill over keputusan atau pembangunan atau tren di salah satu daerah,” katanya.