FINANCE

R&I Pertahankan Peringkat RI, BI: Kebijakan Moneter jaga Stabilitas

Stabilitas RI terjaga di tengah risiko stagflasi.

R&I Pertahankan Peringkat RI, BI: Kebijakan Moneter jaga StabilitasIlustrasi Bank Indonesia/ Shutterstock Harismoyo
05 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE- Lembaga Pemeringkat Rating and Investment Information, Inc. (R&I) kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB+ (Investment Grade) dengan outlook stabil pada 4 Juli 2022.  

Keputusan ini mempertimbangkan terjaganya stabilitas eksternal Indonesia yang didukung oleh momentum pemulihan ekonomi yang terus berlanjut dan perbaikan postur fiskal. 

Menanggapi hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menyebut kebijakan moneter masih memiliki ruang di tengah inflasi yang meningkat secara gradual, dan perbaikan fiskal didukung kenaikan harga komoditas.​ 

"Pemangku kepentingan internasional tetap memiliki keyakinan yang kuat atas terjaganya stabilitas makroekonomi dan prospek ekonomi jangka menengah Indonesia," kata Perry melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin  (4/7).

Stabilitas RI terjaga di tengah risiko stagflasi

Dia juga mengatakan afirmasi rating Indonesia pada peringkat BBB+ dengan outlook stabil menunjukkan bahwa stabilitas RI terjaga di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih tinggi dan peningkatan risiko stagflasi seiring kebijakan kenaikan suku bunga secara global. 

Hal ini didukung oleh kredibilitas kebijakan yang tinggi serta sinergi bauran kebijakan yang kuat antara BI dan pemerintah. Oleh karena itu, ke depannya BI akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, serta terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. 

Pertumbuhan ekonomi RI diprediksi capai 5,5% pada 2022

R&I memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh kuat pada 2022, Pemerintah sendiri memproyeksikan pertumbuhan PDB akan berada pada kisaran 4,8 persen hingga 5,5 persen pada 2022. 

Perry menyatakan, untuk meredam dampak kenaikan harga komoditas global terhadap inflasi, pemerintah telah meningkatkan alokasi subsidi dan belanja sosial (shock absorber), yang akan dibiayai melalui peningkatan penerimaan sejalan dengan tingginya harga komoditas. 

Pemerintah juga memperkirakan defisit fiskal pada 2022 sebesar 3,9 persen dari PDB, turun dibandingkan 4,6 persen dari PDB pada 2021. Sedangkan rasio utang pemerintah yang mencapai 40,7 persen dari PDB pada akhir 2021 masih lebih rendah dibandingkan negara sejawat.

Related Topics