MARKET

IMF Mengubah Pandangan Terhadap Pemulihan Ekonomi Asia

Kenaikan bunga The Fed berpotensi bikin ekonomi lebih buruk.

IMF Mengubah Pandangan Terhadap Pemulihan Ekonomi AsiaShutterstock/Bumble Dee
26 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ekspektasi kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Fed dapat menunda pemulihan ekonomi Asia. Pada saat sama, para pembuat kebijakan akan terus tertekan untuk mewaspadai risiko arus modal keluar.

Meningkatnya tekanan inflasi, perlambatan ekonomi Cina, dan penyebaran kasus virus Corona dari varian Omicron juga mengaburkan banyak peluang di Asia, demikian Changyong Rhee, Direktur Departemen Asia dan Pasifik Dana Moneter Internasional (IMF).

"Kita tidak berharap normalisasi moneter AS menyebabkan guncangan besar atau arus keluar modal besar di Asia, tetapi pemulihan Asia yang sedang berkembang mungkin terhambat oleh suku bunga dan pengaruh global yang lebih tinggi," kata Rhee kepada Reuters dalam sebuah wawancara tertulis, Selasa (25/1).

Investor khawatirkan kenaikan suku bunga

Karena kekhawatiran atas Fed yang lebih krusial juga berpotensi mengguncang pasar global. Para investor memperkirakan pada Rabu (26/1) Bank Sentral AS akan memberi sinyal tentang rencananya untuk menaikkan suku bunga pada Maret 2022. 

Rhee mengatakan, ada risiko bahwa inflasi AS bisa berubah lebih tinggi dari yang diharapkan. Situasi itu akan memerlukan pengetatan moneter lebih cepat atau lebih besar oleh the Fed.

Setiap miskomunikasi atau kesalahpahaman tentang perubahan tersebut dapat memicu pelarian ke tempat yang aman. "(Sehingga) meningkatkan biaya pinjaman dan mengakibatkan arus modal keluar dari negara berkembang Asia," kata Rhee.

Proyeksi ekonomi dipangkas

Dalam The World Economic Outlook (WEO) terbaru yang dirilis pada Selasa (25/1), IMF memangkas proyeksi pertumbuhan Asia 2022 menjadi 5,9 persen. Perkiraan sebelumnya yang disampaikan pada Oktober 2021 sebesar 6,3 persen.

Penurunan perkiraan, pertumbuhan itu sebagian besar disebabkan oleh penurunan 0,8 persen poin yang besar dalam perkiraan pertumbuhan Cina 2022 menjadi 4,8 persen. Kondisi Cina mencerminkan dampak kesengsaraan sektor properti dan pukulan terhadap konsumsi dari pembatasan ketat COVID-19.

Sementara Cina masih menjadi pusat pabrik dunia, Rhee mengatakan, "melemahnya permintaan domestik Cina juga akan menurunkan permintaan eksternal negara tetangga secara umum.”

Negara-negara di Asia kemungkinan juga melihat inflasi sebagai salah satu risiko tahun ini. Kondisi tersebut bertentangan dengan 2021 ketika penundaan pemulihan ekonomi serta kenaikan harga energi dan pangan yang tertahan, membuat inflasi tetap rendah dibandingkan dengan kawasan lain.

Rhee mengatakan, saat pemulihan menguat dan harga pangan melambung pada 2022, dampak terus-menerus dari biaya pengiriman yang tinggi dapat mengakhiri inflasi yang sempat bergejolak di Asia tahun lalu.

"Harga energi global diperkirakan akan stabil pada 2022 setelah kenaikan besar pada 2021, tetapi belakangan ini fluktuatif," katanya.

Related Topics