MARKET

Pendapatan IATA Naik Ribuan Persen Imbas Kenaikan Harga Batu Bara

Pendapatan usaha IATA melesat sebesar 1.734 persen.

Pendapatan IATA Naik Ribuan Persen Imbas Kenaikan Harga Batu BaraGedung MNC Group. (Shutterstock/Cahyadi Sugi)
08 September 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) mencatat kenaikan kinerja keuangan signifikan sepanjang semester I 2022. Peningkatan ini disebabkan oleh lonjakan harga batu bara. 

Perseroan menggunakan dua metode penghitungan kinerja. Pertama menggunakan jumlah aktual IATA per Semester I-2021, sebelum konsolidasi PT Bhakti Coal Resources (BCR) dan kedua sesuai dengan PSAK 38 DK24 yang mengharuskan laporan keuangan disajikan secara proforma setelah BCR dikonsolidasikan.

Berdasarkan komparasi aktual sebelum konsolidasi BCR, IATA  melaporkan peningkatan pendapatan usaha sebesar 1.734,35 persen dari US$4,61 juta pada semester I 2021 menjadi US$84,50 juta pada periode yang sama 2022. Demikian pula, EBITDA perseroan tumbuh dari US$545 ribu menjadi US$ 44,72 juta atau sekitar 8.098,60 persen.

Imbas dari kenaikan pendapatan dan EBITDA, laba bersih perseroan juga tumbuh secara signifikan dari negatif US$1,70 juta menjadi positif US$32,19 juta. "Hal ini terutama disebabkan oleh permintaan tinggi sumber daya energi seperti batu bara, akibat dari negara-negara yang bergantung pada minyak dan gas berebut untuk mencari alternatif setelah mengalami kesulitan dalam mengamankan pasokan," tulis manajemen dalam keterbukaan informasi BEI, Kamis (8/9).

Sementara bila mengacu metode penghitungan kedua, komparasi berdasarkan PSAK 38 DK24, dibandingkan dengan semester yang sama 2021, pendapatan usaha IATA meningkat 
254,36 persen atau menjadi US$84,50 juta pada semester I 2022 dari US$ 23,85 juta. Kenaikan juga dapat dilihat dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu, dari US$ 13,63 juta di kuartal II 2021 menjadi US$44,11 juta di kuartal II 2022 atau sebesar 223,61 persen. 

"Upaya perseroan meningkatkan produksi batu bara, mulai membuahkan hasil pada peningkatan laba bersih menjadi US$32,19 juta pada semester I 2022, atau meningkat
735,49 persen dibandingkan dengan US$3,85 juta pada periode yang sama 2021.

Jika dibandingkan dengan kuartal II 2022, laba bersih IATA naik 335,55 persen dari US$ menjadi US$15,80 juta dibandingkan kuartal yang sama sebelumnya US$3,63 juta.

Kontribusi Anak Usaha

Ilustrasi tambang batu bara.
Ilustrasi tambang batu bara. (Pixabay/stafichukanatoly)

Manajemen perusahaan mengatakan, keuntungan yang dibukukan IATA berasal dari anak usaha BCR yaitu PT Putra Muba Coal (PMC) dan PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC). Masing-masing perusahaan tersebut menargetkan produksi sebanyak 4,5 juta Metrik Ton (MT) dan 1,8 juta MT pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dari 2 juta MT dan 590 ribu MT pada 2021.

Selain PMC dan BSPC, anak perusahaan BCR lainnya, PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) telah memulai produksi batu bara pada Juli 2022. Memiliki salah satu area konsesi terbesar seluas 15 ribu hektar, perseroan optimistis IBPE pada kuartal depan dan seterusnya akan memberikan kontribusi signifikan.

"IBPE ditargetkan memproduksi 500 ribu MT batu bara pada tahun 2022. Di samping itu, PT Arthaco Prima Energy (APE), juga ditargetkan untuk mulai produksi dalam tahun ini," tulis IATA. 

Rencana Galang Dana Lewat Rights Issue

Perseroan sedang menjalankan aksi korporasi Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau righst issue yang telah disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) awal tahun ini.

Pada aksi korporasi ini, perseroan berencana menerbitkan 14,84 miliar saham yang dananya akan digunakan untuk pelunasan seluruh Surat Sanggup yang diterbitkan
kepada PT MNC Asia Holding Tbk (BHIT) dalam rangka pengambilalihan BCR. 

Selain itu, dana tersebut akan digunakan sebagai setoran modal kepada perusahaan anak yang akan digunakan untuk pengembangan usaha di bidang batubara dan migas dan modal kerja Perseroan. Pasca HMETD, BHIT akan memiliki kepemilikan maksimal 56,97 persen di IATA. 

Related Topics