MARKET

Respons Pasar Global Atas Larangan Ekspor Minyak Goreng dan RBD Olein

Indonesia dianggap seperti menyiram bensin ke api.

Respons Pasar Global Atas Larangan Ekspor Minyak Goreng dan RBD OleinSejumlah warga mengantre untuk membeli minyak goreng curah di sebuah toko sembako di kompleks pasar KlliwonTemanggung, Jawa Tengah, Senin (4/4/2022). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/hp.
29 April 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Harga minyak goreng dan RBD Olein mengalami lonjakan di pasar global beberapa hari setelah pemerintah mengumumkan rencana larangan ekspor minyak goreng dan RBD Olein. Sejumlah negara yang biasanya mengandalkan pasokan tersebut dari Indonesia pun langsung bereaksi.

Salah satunya India, importir minyak sawit terbesar di dunia yang menyumbang 40 persen dari konsumsi minyak nabati—menurut USDA. 

Seperti dikutip The Hindu Business Line, Said Atul Chaturvedi, presiden Asosiasi Ekstraktor Pelarut India mengatakan bahwa tindakan Indonesia tersebut tidak beralasan dan telah menimbulkan dampak besar bagi India.

"Harga lokal di Indonesia mungkin jatuh sebagai akibat dari keputusan ini, tetapi harga di India mungkin meroket. Ini akan menjadi waktu yang sulit," ujarnya.

Selama ini India memenuhi setengah dari kebutuhan tahunannya atau sekitar 8,3 juta ton minyak sawit dari Indonesia. Bahkan tahun lalu, Negeri Bollywood itu juga mengumumkan rencananya untuk meningkatkan produksi minyak sawit domestik India.

Tak ayal, kontrol ekspor yang dilakukan Indonesia sejak akhir Januari telah menyebabkan kenaikan harga 38 persen CPO di India. Sedangkan harga minyak kedelai, yang paling banyak dikonsumsi setelah kelapa sawit, naik 29 persen di dalam negeri tahun ini.

Lantaran itu, pada Maret lalu pemerintah India telah meminta Indonesia untuk meningkatkan pengiriman minyak sawit untuk menutupi kekurangan pasokan dan alternatif yang mahal. Terlepas dari kenaikan harga komoditas, impor minyak sawit India melonjak 21 persen pada Maret dari bulan sebelumnya karena para pedagang bergerak untuk mengamankan alternatif minyak bunga matahari yang tidak dapat lagi dibeli dari Ukraina, empat dealer mengatakan kepada Reuters.

Sementara itu, JPMorgan dalam laporannya hari ini mengatakan bahwa larangan ekspor Indonesia seperti menyiram bensin ke api. Pasalnya hal tersebut dapat memperparah inflasi global yang telah merangkak sejak pemulihan konsumsi seiring meredanya pandemi.

"Ini adalah pengingat lain dari kerentanan yang ada di seluruh rantai pasokan pertanian di lingkungan persediaan yang sudah ketat secara historis, ditambah dengan hilangnya volume ekspor Ukraina yang tidak terbatas dan biaya produksi yang tinggi secara historis," tulisnya.

Banyak negara terdampak

Tobin Gorey, direktur strategi pertanian di Commonwealth Bank of Australia, mengatakan larangan tersebut adalah “salah satu tindakan nasionalisme pertanian terbesar sejauh ini selama lonjakan harga pangan ini."

Rasheed JanMohd, ketua Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA) mengatakan harga minyak nabati telah meningkat lebih dari 50 persen dalam enam bulan terakhir karena faktor dari kekurangan tenaga kerja di Malaysia hingga kekeringan di Argentina dan Kanada—masing-masing pengekspor minyak kedelai dan minyak canola terbesar—membatasi pasokan

Pembeli berharap panen bunga matahari dari pengekspor utama Ukraina akan mengurangi keketatan, tetapi pasokan dari Kyiv telah berhenti sebagai akibat dari invasi Rusia.

"Tidak ada yang bisa mengkompensasi hilangnya minyak sawit Indonesia. Setiap negara akan menderita," ujar Rasheed.

Related Topics