IHSG Mulai Rebound, Akankah Bertahan dalam Jangka Menengah?

Jakarta, FORTUNE - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mulai berbalik menguat setelah pelemahan signifikan di perdagangan perdana pascalibur lebaran. Lantas, akankah penguatan tersebut terus berlanjut?
Terbaru, IHSG mengakhiri perdagangan sesi I, Jumat (11/4), dengan penguatan sebesar 0,22 persen di level 6.267,71. Itu melanjutkan kenaikan 4,79 persen pada penutupan perdagangan Kamis (10/4).
Katalis utama penguatan teknikal IHSG sejak kemarin adalah keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang menunda pemberlakuan tarif baru terhadap semua negara, kecuali Cina, selama 90 hari. Namun demikian, analis menilai volatilitas pasar tak serta-merta langsung mereda. Masih ada sejumlah hal yang mesti diwaspadai.
Pertama, ketidakpastian mengenai perkembangan perang dagang AS-Cina. Sifatnya masih sangat dinamis. Terbaru, AS memutuskan meningkatkan tarif kumulatif atas impor dari Cina menjadi 145 persen. Analis menilai langkah itu memicu kekhawatiran akan pembalasan lebih lanjut dari Cina, yang saat ini mengenakan pungutan 84 persen atas impor dari AS.
"Yang jelas tujuan dari pengenaan tarif Trump kan lebih ke Cina. Nah, nantinya pun dari Cina bisa jadi sudah mempersiapkan kebijakannya untuk menghadapi hal ini, yang bisa saja akan mengubah peta perdagangan global ke depannya," jelas Director PT Reliance Sekuritas Indonesia Tbk, Reza Priyambada kepada Fortune Indonesia.
Sudah begitu, di tengah rebound IHSG saat ini, ada faktor risiko berupa profit taking oleh sejumlah pihak. Jika hal itu terjadi, maka penguatan IHSG tak dapat terjadi secara berkelanjutan. Ditambah lagi, belum tentu ada sentimen positif yang dapat menahan potensi koreksi akibat aksi tersebut.
Padahal, secara fundamental, IHSG dinilai masih baik. Data Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan, laba bersih emiten di bursa meningkat 19,3 persen (YoY) pada 2024. Adapun, data tersebut berasal dari 738 emiten yang melaporkan kinerja per 8 April 2025. Dari seluruh emiten, 703 merupakan emiten lama, sedangkan 35 adalah emiten yang baru tercatat.
"Ditambah, rilis dividen sejumlah emiten, terutama bank, harusnya bisa menjadi katalis positif," kata Reza. "Nyatanya kan sentimen tersebut seolah tidak menjadi perhatian dan pelaku pasar lebih merespons kebijakan tarif Trump, yang mungkin secara sentimen tak berhubungan langsung dengan sejumlah fundamental emiten."
Hal tersebut terefleksi pada jumlah penjualan bersih (net sell) asing per 10 April 2025. Stocknow.id mencatat, asing membukukan net sell sebesar Rp632 miliar ketika IHSG menguat signifikan kemarin. Kondisi ini diprediksi menjadi salah satu sentimen negatif yang memberatkan pergerakan IHSG.
Meskipun demikian, penguatan rupiah ke level JISDOR 16.779 kemarin menjadi penopang psikologis tambahan bagi investor domestik. Pada 11 April 2025 siang, nilai tukar rupiah kembali menguat ke level Rp16.787 per dolar AS.
Musim pembagian dividen yang segera dimulai menjadi katalis tambahan bagi IHSG. Sejumlah emiten, terutama sektor perbankan dan konsumer, diperkirakan akan membagikan dividen dalam jumlah besar. Namun, Hendra menyoroti efek ex-date dan potensi aksi profit taking, yang tetap harus diantisipasi.
"Sebaiknya, investor selektif dan fokus pada emiten yang tak hanya memberi dividen tinggi, tetapi juga memiliki pertumbuhan laba berkelanjutan," jelas Founder Stocknow.id, Hendra Wardana kepada Fortune Indonesia.
Secara keseluruhan, IHSG telah membuka ruang teknikal untuk penguatan lanjutan. Tetapi dengan arus dana asing yang masih fluktuatif dan tensi geopolitik yang belum usai, pendekatan yang bijak tetap diperlukan. Investor perlu disiplin dalam memilih saham, memanfaatkan momen dividen secara selektif, dan menjaga manajemen risiko sebagai kunci utama dalam menghadapi dinamika pasar ke depan.
"Secara teknikal, IHSG kini mengincar resisten di area 6.418, dan bila berhasil ditembus, target berikutnya berada di 6.600–6.800, potensi yang bukan mustahil, asalkan kombinasi katalis makro dan penguatan sektor-sektor utama mampu terjaga secara konsisten," kata Hendra.
Saham-saham yang masuk dalam radar Stocknow.id adalah BBNI, SCMA, dan INDY.
BBNI, karena prospek pertumbuhan kredit; perbaikan kualitas aset; dan juga pembagian dividen tunai dengan yield sekitar 9,2 persen. Target harganya adalah Rp4.460.
Lalu, SCMA, yang ditopang oleh pulihnya belanja iklan serta optimalisasi aset digital melalui platform Vidio. Target kenaikan harganya adalah Rp220 dalam jangka menengah.
Terakhir, INDY. Saham emiten ini didukung oleh sentimen positif dari diversifikasi bisnis ke energi baru terbarukan, kendaraan listrik, dan logistik hijau. Target harganya adalah Rp1.155.
Dampak dari stimulus kebijakan OJK-BEI

Yang juga patut untuk ditinjau adalah dampak dari sejumlah stimulus kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Contohnya, penyesuaian kriteria terjadinya trading halt dan ambang batas ARB. Tujuannya, mengantisipasi dinamika pasar di tengah peningkatan volatilitas agar pergerakan lebih wajar.
"Namun, itu dipersepsikan berbeda di pelaku pasar," jelas Reza. "Contoh, setelah libur lebaran, BEI ubah batasan ARB dan trading halt agar pasar tidak turun dalam. Namun, kenyataannya direspons dengan pelemahan lebih dalam."
Ia menyarankan agar ruang ARB dan trading halt dipersempit jaraknya, sedangkan batas ARA (auto reject atas) ditinggikan. Menurutnya, itu dapat mendorong ruang kenaikan agar bisa lebih tinggi lagi.
Di lain sisi, Pengamat Pasar Modal Panin Sekuritas, Reydi Octa menilai, dampak dari penyesuaian terkait trading halt bersifat netral. Untuk penyesuaian ARB menjadi 15 persen, menurutnya itu berdampak positif karena dapat menahan laju penurunan ekstrem saat volatilitas pasar menguat. Namun, itu dak memperkecil likuiditas terlalu signifikan.
Bagaimana dengan stimulus lain seperti kebijakan buyback tanpa RUPS? Reydi menyebut itu sebagai langkah positif karena dapat memberikan fleksibilitas emiten untuk membeli kembali saham di tengah dinamika pasar saat ini.
"Sisi positif yang bisa dilihat investor dari hal ini adalah kepercayaan mereka bahwa emiten melakukan permintaan tambahan atas sahamnya sendiri karena merasa sahamnya sudah undervalued dan akan menahan tekanan jual lebih lanjut, tentu akan menambah tekanan beli di kemudian hari," papar Reydi kepada Fortune Indonesia.
Reydi memproyeksikan IHSG dapat mengalami penguatan setidaknya dengan tiga level resisten dari swing high yang harus ditembus, yakni: 6.500, 6.700, dan 6.900. Berdasarkan sentimen global, sektor-sektor yang ia soroti adalah teknologi, otomotif, dan manufaktur. Sementara itu, sektor yang biaya diakumulasi asing adalah perbankan serta sejumlah saham pertambangan.












