MARKET

Harga Gas Melonjak ke Rekor Tertinggi di Tengah Krisis Energi Eropa

Kenaikan harga gas akibat permintaan tidak diimbangi pasokan

Harga Gas Melonjak ke Rekor Tertinggi di Tengah Krisis Energi EropaIlustrasi tangki gas. Shutterstock/OlegRi
06 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, Fortune - Krisis energi yang terjadi di Eropa memasuki babak baru. Harga gas alam di kawasan ekonomi tersebut melonjak signifikan. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir terjadi pemecahan rekor akibat kenaikan permintaan yang tidak diimbangi pasokan.

Trading Economics mencatat, harga gas pada Rabu (6/10) US$6,2 per million British thermal units/MMBTU. Posisi harga ini sudah meningkat 36,3 persen ketimbang bulan sebelumnya. Bahkan, secara tahunan (year-on-year/yoy) harga gas tersebut naik 138,9 persen. 

Kenaikan harga gas yang signifikan ini telah terjadi sejak akhir Agustus. Pada Rabu (25/8) posisi harga gas baru mencapai US$3,8 per MMBTU, tapi kini sudah meningkat lebih dari 1,5 kali lipat. Posisi harga gas ini juga tertinggi setidaknya sejak 2014.

Menyadur Fortune.com, harga gas untuk kontrak November dengan patokan TTF Belanda juga melonjak menjadi 100 Euro atau sekitar US$116. Kenaikan harga yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini mengindikasikan tekanan besar di pasar gas.

Permintaan tinggi, pasokan menipis

Kenaikan harga gas alam terutama di Eropa ini disinyalir sesuai dengan hukum ekonomi: permintaan tinggi tidak diimbangi suplai memadai.

Kenaikan permintaan terhadap kebutuhan energi tersebut kemungkinan besar terjadi akibat upaya pemulihan ekonomi. Hal ini seiring sejumlah negara di kawasan tersebut yang melonggarkan kebijakan karantina wilayah.

Sementara dari sisi suplai, menurut Fortune, pasokan gas tengah berada pada titik terendah dalam satu dekade. Padahal, menjelang musim dingin biasanya kapasitas simpan disiapkan lebih tinggi.

Di sisi lain, gas juga masih berperan penting dalam pemanasan dan kebutuhan industri manufaktur di Eropa. Komoditas tersebut juga menopang stabilitas bauran energi di tengah upaya mempercepat energi baru terbarukan (EBT).

Beberapa faktor lain yang diduga menghambat terbatasnya pasokan gas adalah suplai gas Rusia yang berjalan lambat ke Eropa, perubahan kebijakan iklim, sampai cuaca ekstrem yang telah mengganggu proses transportasi serta cara mengonsumsi energi tersebut.

The Financial Times juga menyebutkan salah satu penyebab kenaikan harga gas di Eropa ini adalah langkah pemerintah sejumlah negara mengurangi ketergantungan terhadap batu bara demi meredam polusi. Namun, hal ini pun pada gilirannya kembali menekan para pembuat kebijakan di Eropa.

Sejumlah negara seperti Spanyol, Italia, Prancis dan Yunani dilaporkan telah mengeluarkan kebijakan demi mengatasi kenaikan harga gas ini. Sejumlah negara itu telah menyetujui subsidi untuk melindungi konsumen rumah tangga dari tarif gas yang membumbung tinggi.

Kepala komisi Eropa, Ursula von der Leyen, mengatakan lembaganya berupaya meningkatkan pasokan gas dengan memaksimalkan suplai dari negara seperti Norwegia. “Kami sangat bersyukur Norwegia telah meningkatkan, tetapi ini tampaknya tidak berlaku untuk Rusia,” kata Ursula.

Rusia merupakan pemasok gas alam terbesar ke Eropa. Namun, negara tersebut akan membatasi ekspor pipa gas untuk kontrak jangka panjang. Padahal ada tanda-tanda bahwa ekpektasi penjualan akan meningkat untuk membantu mengisi fasilitas penyimpanan.

Harga energi primer relatif naik

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan pada Kamis (30/9) bahwa sekarang memang tengah terjadi tren kenaikan harga energi primer termasuk gas. Kenaikan harga juga terjadi untuk energi batu bara dan minyak.

Menurut Komaidi, kenaikan harga energi primer tersebut disinyalir merupakan dampak tingkat permintaan yang tinggi apalagi menjelang musim dingin. Di saat yang bersamaan, pasokan energi saat ini juga cenderung tidak memadai.

“Produksi energi primer di beberapa wilayah juga sedang enggak banyak atau dalam kondisi shortage. Artinya ketika enggak ada tambahan produksi harga berpotensi naik lebih tinggi,” kata Komaidi kepada Fortune Indonesia.

Namun, Komaidi memperkirakan, ketika produksi meningkat dan mampu mengimbangi sisi permintaan, harga energi primer termasuk gas akan kembali meningkat. “Kalau produksi ini bisa segera ditingkatkan, saya kira harga akan bisa dikembalikan ke titik normal,” katanya.

Related Topics