Hary Tanoe Ubah Bisnis Penerbangan ke Pertambangan, Begini Prospeknya
IATA berganti nama menjadi PT MNC Energy Investments Tbk.
14 February 2022
Jakarta, FORTUNE - Emiten penerbangan milik Hary Tanoesoedibjo, PT Indonesia Transport & Infrastructure bertransformasi menjadi PT MNC Energy Investments Tbk (IATA). Perseroan bahkan memutuskan banting setir dari bidang investasi dan perusahaan induk, ke pertambangan batu bara.
Keputusan itu diambil sebagai upaya memitigasi kerugian akibat pandemi Covid-19. Sebagai informasi, IATA membukukan kenaikan pendapatan 15 persen dari US$6,3 juta (kuartal III 2020) menjadi US$7,2 juta (kuartal III 2021).
Namun, kenaikan itu juga diikuti oleh beban usaha yang membengkak sehingga IATA mencatatkan rugi bersih US$4,7 juta pada kuartal III 2021. Kerugiannya melambung 118 persen dibandingkaan periode yang sama tahun sebelumnya.
Industri penerbangan belum juga pulih sampai sekarang, membuat emiten milik MNC Group itu melirik bidang usaha baru—pertambangan—demi memulihkan nilai perusahaan. Lantas, seperti apa prospek bisnis pertambangan IATA ini ke depan?
Pengambilalihan bisnis batu bara BCR
Grup MNC mengidentifikasi peluang untuk masuk ke sektor pertambangan karena lonjakan harga komoditas batu bara yang berkelanjutan. Permintaan pun tercatat terus meningkat.
“Kalau lihat dari intinya, harusnya iya (menguntungkan) dengan kebutuhan batu bara yang masih ada. Iini bisa menjadi peluang untuk Grup MNC untuk bisa meningkatkan kinerja perseroan di industri batu bara,” demikian menurut Pengamat Pasar Modal Asosiasi Analis Efek Indonesia, Reza Priyambada kepada Fortune Indonesia, Senin (14/2).
Sesuai hasil RUPSLB pada pekan lalu, IATA resmi memulai bisnis pertambangan. Aset transportasi udara perseroan dialihkan ke PT Indonesia Air Transport (IAT), perusahaan entitas anak.
IATA juga mengambil alih 99,33 persen saham PT Bhakti Coal Resources (BCR) dari tangan PT MNC Investama Tbk (BHIT). Sebagai informasi, BCR menaungi 9 perusahaan batu bara dengan Izin usaha Pertambangan (IUP) di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Berikut perincian informasinya:
- PT Bhumi Sriwijaya Perdana Coal (BSPC) dan PT Putra Muba Coal (PMC)
Dua perusahaan beroperasi dan aktif menghasilkan batubara sekitar GAR 2.800 – 3.600 kkal/kg. Dengan total area seluas 9.813 ha, BSPC memiliki perkiraan total sumber daya 130,7 juta metrik ton (MT), sementara PMC memiliki 76,9 juta MT, dengan perkiraan total cadangan masing-masing sebesar 83,3 juta MT dan 54,8 juta MT.
- PT Indonesia Batu Prima Energi (IBPE) dan PT Arthaco Prima Energi (APE)
Keduanya ditargetkan memulai produksi batubara tahun ini.
- PT Energi Inti Bara Pratama (EIBP), PT Sriwijaya Energi Persada (SEP), PT Titan Prawira Sriwijaya (TPS), PT Primaraya Energi (PE), dan PT Putra Mandiri Coal (PUMCO)
Lima perusahaan sedang bersiap beroperasi dalam satu atau dua tahun dari sekarang. Tujuh IUP dengan luas 64.191 ha ini memiliki estimasi total sumber daya sebesar lebih dari 1,4 miliar MT
Prospek bisnis batu bara IATA
Dengan lesunya industri penerbangan, IATA akhirnya melebarkan sayap ke bisnis pertambangan. Mengapa sektor pertambangan yang dipilih, bukan sektor lain seperti perusahaan media dimana perusahaan sudah matang di industrinya?
Grup MNC telah menaungi banyak media, seperti RCTI dan Global TV. Ditambah dengan bisnis media digital seperti RCTI+ dan Vision+. “Ibaratnya (bisnis) media (Grup MNC) sudah settle kan. Sementara ada bisnis lain yang mungkin masih perlu dikembangkan,” kata Reza menambahkan.
Dikarenakan sudah ada lengan bisnis yang bergerak di bidang batu bara, akhirnya Grup MNC memutuskan mengintegrasikan bisnis itu ke jaringan IATA. Apalagi, perusahaan itu menggarap bidang transportasi logistik sehingga bisa melahirkan peluang bisnis baru.
“Mereka mungkin bisa juga mentransformasi atau mengubah menjadi perusahaan logistik batu bara. Intinya, bagaimana bisa memberikan nilai tambah daripada (perusahaannya) dibiarkan tak berkembang," kata Reza.
Manfaat akuisisi BCR oleh IATA
Dengan masuknya perusahaan ke sektor pertambangam, seperti apa kinerja perusahaan di bawah naungan BCR selama ini? Sebagai informasi, BSPC dan PMC pada 2021 membukukan produksi 2,5 juta metrik ton (MT). Perusahaan mencetak pendapatan sekitar US$74,8 juta dengan EBITDA US$33 juta.
Pada kuartal III 2021, BCR mencatatkan pendapatan US$44,1 juta dengan EBITDA senilai US$20,4 juta. Dengan asumsi akuisisi BCR oleh IATA terlaksana pada Januari 2021, laporan IATA untuk September 2021 akan menghasilkan pendapatan US$51,4 juta dengan EBITDA sebesar US$20,4 juta, daripada pendapatan sebesar US$7,2 juta dengan kerugian EBITDA US$54,8 ribu.
Sebanyak 9 IUP milik BCR akan diambil alih dengan nilai US$140 juta, dimana nilai tersebut 23 persen lebih rendah dari valuasi BSPC dan PMC. Tahun ini, BCR sudah mendapat restu meningkatkan produksi 8 juta metrik ton.
Dengan perkiraan harga batubara terus menguat dan target produksi tercapai, maka kinerja keuangan IATA pada 2022 diperkirakan membaik. Ekspektasi peningkatan pendapatannya meningkat hingga 3 lipat dari 2021, setelah terus merugi sejak 2008.
Terlebih, berdasarkan data International Energy Agency (IEA), Indonesia mengekspor 455 juta ton batu bara secara global (2019) dan meningkat menjadi 400 juta ton (2020) selama pandemi Covid-19. Itu menggambarkan dominasi pasokan batu bara Indonesia di pasar internasional.
Selama lima hari terakhir, saham IATA telah melambung 70,45 persen dari level Rp88 menjadi Rp150 dengan kenaikan bulanannya mencapai 158,62 persen.