Sebab dan Dampak Ledakan Investasi Pasca-Covid di ASEAN
Di satu sisi, itu berkah. Di sisi lain, investor juga resah.
01 September 2021
Jakarta, FORTUNE - Perusahaan teknologi finansial dan e-commerce Asia Tenggara mendulang modal dalam jumlah besar karena investor global mulai bertaruh di bidang itu setelah pandemi, menurut para investor dan bankir. Apakah itu kabar baik?
Berdasar data Refinitiv, peningkatan modal ekuitas publik oleh deretan perusahaan Asia Tenggara melonjak ke level tertinggi dalam empat tahun, mencapai US$8,4 miliar pada 2021.
Investasi ekuitas swasta pun melonjak, mencapai US$8,2 miliar. Itu hampir menyamai rekor senilai US$8,9 miliar pada 2020.
IPO Bukalapak (BUKA) disebut sebagai salah satu magnet penarik kucuran modal itu. Selain itu, apa lagi faktor penyebab meledaknya investasi pascapandemi di Asia Tenggara?
1. Meningkatnya Adopsi Layanan Digital di Asia Tenggara
Covid-19 telah mendorong adopsi layanan digital di kalangan konsumen. Penggunaan berbagai aplikasi digital kini semakin masif di tengah masyarakat, misalnya bank digital, layanan kesehatan digital, dan pesan-antar makanan secara daring.
Bahkan, nilai ekonomi berbasis internet di Indonesia mewakili 40 persen dari potensi pasar Asia Tenggara, mencapai Rp567,9 triliun menurut E-Conomy SEA Research 2020.
Oleh karena itu, investor pun kini berlomba-lomba mencari perusahaan teknologi yang mampu mengembangkan bisnis lebih cepat di wilayah berpenduduk 650 juta orang itu.
Melihat peluang itu, para pemodal global pun menajamkan fokusnya ke Asia Tenggara. Apalagi, kini Tiongkok memiliki aturan keras bagi perusahaan teknologinya.
2. Minat Investor terhadap IPO Perusahaan Teknologi Asia Tenggara
Melansir Reuters, Rabu (1/9), aktivitas pendanaan jangka pendek akan dipimpin oleh GoTo, yang diprediksi akan merampungkan putaran investasi pra-IPO senilai US$2 miliar. Di sisi lain, sejumlah startup berminat melantai di bursa, baik di Asia Tenggara maupun Amerika Serikat (AS) untuk dua tahun ke depan.
Kepala Tim Asia Tenggara Warburg Pincus, salah satu investor terbesar di wilayah itu, Jeffrey Perlman mengatakan, “Ada minat yang sangat kuat dari investor pasar publik untuk mendapatkan eksposur ke perusahaan sumber pertumbuhan di kawasan itu.”
Pada 2021, Traveloka dan marketplace Carousell telah berencana untuk debut saham di bursa. Ada pula perusahaan logistik Ninja Van dan solusi pendukung e-commerce aCommerce asal Thailand, walau belum menyebutkan rincian waktu sama sekali. Narasumber anonim lain menyebut, startup fesyen Pomelo juga mempertimbangkan IPO tahun depan.
Traveloka dan Carousell bungkam menanggapi kabar itu. Sementara Pomelo tidak segera merespons permintaan berkomentar.
Direktur Manajemen Portofolio di Franklin Templeton Emerging Markets Equity, Sukumar Rajah berujar, “Kami melihat lebih banyak perusahaan menarik yang muncul. Saya akan membangun peluang di Asia Tenggara.”
3. Asia Tenggara Punya Peluang Ekonomi Digital yang Tinggi
Menurut laporan Google, Temasek, dan Bain & Company, ekonomi digital Asia Tenggara diproyeksi bertumbuh tiga kali lipat menjadi US$300 miliar pada 2025 ketimbang akhir 2020.
Pada akhirnya, itu membuat kucuran modal ke kawasan tersebut berlimpah. Berdasarkan data pelacak industri, Preqin, nilai total transaksi modal ventura Asia Tenggara mencapai US$10 miliar pada paruh pertama 2021.
“Indonesia, Vietnam, Thailand, negara-negara itu memiliki populasi domestik yang cukup besar di mana peluang digitalisasi (perusahaan) dapat membuatnya menjadi seukuran unicorn,” papar Kepalal Investasi Kekayaan Negara Singapura, GIC, Jeffrey Jaensubhakij.
4. Asia Tenggara Menarik Minat Akuisisi dengan Tujuan Khusus (SPAC)
Mengacu pada data Dealogic, empat dari delapan target SPAC Asia yang diungkapkan tahun ini berasal dari Asia Tenggara. Salah satunya, kesepakatan SPAC Grab yang bernilai US$40 miliar pada April 2021, bagian dari rencana IPO-nya di AS.
5. Kekhawatiran Investor di Tengah Tumpah-Ruah Investasi
Di tengah investasi yang melimpah, investor juga khawatir mengenai dua hal, yakni ‘apakah luapan likuiditas global meningkatkan valuasi perusahaan?’ dan ‘apakah mereka dapat dipertahankan di pasar sekunder?’
Misalnya, Bukalapak yang menggelar IPO bernilai US$1,5 miliar pada Agustus mengalami lonjakan saham 55 persen dari harga IPO pada hari-hari awal--sebelum akhirnya melorot.
“Untuk memperbaiki nilai perusahaannya yang tinggi terhadap kelipatan penjualan, Bukalapak perlu mempertahankan pertumbuhan pendapatan tahunan sekitar 50 persen selama lima tahun ke depan, yang tampaknya merupakan target yang agak sulit,” papar Analis Ekuitas di LightStream Research, Oshadhi Kumarasiri dikutip Reuters.