NEWS

Dampak Perubahan Iklim dan Covid-19 Sama Dahsyat bagi Kehidupan

Walaupun NDC dilaksanakan, perubahan iklim tetap terjadi.

Dampak Perubahan Iklim dan Covid-19 Sama Dahsyat bagi KehidupanSri Mulyani, Menteri Keuangan RI. (Flickr)
09 August 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Perubahan iklim adalah isu global yang tak henti menjadi pembicaraan berbagai kalangan. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19 melanda, isu perubahan iklim adalah masalah yang lebih dulu berdampak ke berbagai sektor.

Terkait hal ini, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani di webinar Climate Change Challenge yang diselenggarakan Universitas Indonesia (UI), pada Jumat (10/6), menyatakan bahwa dampak perubahan iklim sama dahsyatnya dengan Covid-19. Hal ini menjadi dasar bagi semua negara di dunia untuk berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca secara bersama-sama dengan berbagai upaya.

“Saat ini dunia dihadapkan pada ancaman yang...konsekuensinya yaitu climate change. Kita sudah melihat berbagai studi menunjukkan dampak dari climate change itu akan sangat dahsyat,” kata Menkeu Sri Mulyani dikutip dari portal berita Antara.

Menurut Sri Mulyani, dampak perubahan iklim kini semakin nyata dan tidak terhindarkan. Walaupun negara-negara menjalankan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi karbon, perubahan iklim akan tetap terjadi.

“Dunia akan tetap meningkat suhunya menjadi 3,2 derajat Celsius dibandingkan (zaman) pra-industri pada 2030. Ini berarti akan melewati batas yang oleh para ahli disebut (sebagai) kenaikan suhu maksimal yang bisa ditahan bumi, yaitu 1,5 hingga 2 derajat Celsius,” kata Sri Mulyani.

Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya kontribusi dan komitmen seluruh negara untuk menurunkan emisi karbon. Membandingkan dengan situasi penanganan pandemi Covid-19, ia berpendapat bahwa negara maju sekalipun akan kesulitan menghadapinya.

"Seluruh negara mengalami perubahan iklim yang bisa menyebabkan kekeringan berkepanjangan, atau hujan yang terus menerus seperti yang kita alami 18 bulan terakhir ini," ujarnya.

Menkeu mengungkapkan bahwa Indonesia diminta berperan aktif dalam meminta komitmen banyak negara, baik secara regional maupun global, untuk memenuhi konsekuensi sumber daya yang dibutuhkan dalam transformasi high carbon menuju low carbon atau zero carbon emission.

“Perlu target yang lebih ambisius. Kita terus melakukan keselarasan kebijakan-kebijakan untuk mencapai komitmen (Paris) tersebut atau bahkan lebih ambisius,” katanya.

Menkeu menyampaikan bahwa di Indonesia, beberapa sektor seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)--melalui deforestasi--telah membuahkan hasil positif lewat perolehan dana kompensasi dari penurunan CO2. Hal ini termasuk bidang energi terbarukan dengan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT mencapai 23 persen pada 2025).

Selain itu, penurunan emisi karbon dan komitmen Perjanjian Paris merupakan agenda prioritas nomor enam dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Sri Mulyani juga menyatakan bahwa pemerintah berharap para pemimpin di tiap daerah semakin memahami isu perubahan iklim. Hal ini berkaitan dengan dukungan anggaran perubahan iklim yang diberikan pemerintah kepada 11 daerah yang diujicobakan, yaitu 7 daerah provinsi, 3 kabupaten, dan 1 kota.

"Tahun ini kita akan menambah lagi 6 daerah lain yang akan ikut di dalam program regional budget climate tagging ini," ujarnya.

Related Topics