NEWS

8.302 Kasus ‘Omicron Siluman’ Terdeteksi di Indonesia, Ini Gejalanya

Gejala virus secara umum masih seperti varian Omicron.

8.302 Kasus ‘Omicron Siluman’ Terdeteksi di Indonesia, Ini GejalanyaIlustrasi Omicron. (Pixabay/BelnderTimer)
15 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sebanyak 8.302 kasus Covid-19 sub varian BA.2 atau yang disebut 'Omicron Siluman' sudah terdeteksi di 19 provinsi di Indonesia. Virus tersebut bahkan sudah mendominasi kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa sub varian Omicron BA.2 mendominasi peningkatan kasus di beberapa negara.

"Beberapa negara kita amati dan pelajari laju penularannya, seperti di Hongkong, Korea Selatan, Inggris, yang kita ketahui mengalami peningkatan kasus perawatan karena adanya peningkatan varian baru Omicron, yaitu sub varian BA.2,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Selasa (15/3).

Berdasarkan pemeriksaan genome sequencing yang dilakukan sejak Januari pada sub varian Omicron, Nadia mengatakan vaksin Covid-19 yang beredar di Indonesia dipastikan masih efektif mencegah seluruh sub varian tersebut.

Gejala sub varian Omicron tidak lebih berat dari varian Delta

Secara umum, gejala yang ditimbulkan oleh Omicron dan sub variannya disebut hampir mirip dengan gejala Omicron sebelumnya, bahkan tidak lebih berat dibandingkan varian Delta.

Menurut Nadia, gejala klinis yang dialami oleh penderita sub varian Omicron–BA.1, BA.1.1, BA.2, atau BA.3–masih cenderung seperti flu biasa.

Adapun gejala yang banyak dikeluhkan oleh para penderita Covid sub varian Omicron ini di antaranya sakit tenggorokkan, batuk, pilek, dan badan linu atau terasa pegal.

Data karakteristik mutasi virus masih sangat terbatas

Sementara itu, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan bahwa memang terdapat beberapa varian virus yang terindikasi memiliki percampuran genetik antara Delta dan Omicron. Namun, data untuk mengenali karakteristik varian tersebut masih sangat terbatas.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya menyebutkan bahwa dampak jenis percampuran ini terhadap indikator epidemiologi maupun keparahan gejala belum dapat dipastikan dan masih terus diteliti.

“Selama virus masih beredar, apalagi dalam tingkat penularan yang tinggi, potensi terjadinya mutasi virus masih sangat besar. Perubahan virus ini dapat terjadi melalui berbagai mekanisme, salah satunya rekombinasi,” kata Wiku menjelaskan.

Related Topics