NEWS

Panic Buying Bukan Cerminan Masyarakat Irasional

Ini reaksi terhadap ketidakpastian yang ekstrem.

Panic Buying Bukan Cerminan Masyarakat IrasionalAntrean mobil di stasiun pengisian bakar kendaraan, Berkshire, UK, (26/9). (ShutterStock/Amani A)
13 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Pandemi Covid-19 adalah pukulan keras bagi sebagian besar manusia di muka bumi. Ketidaktahuan menyeluruh akan dampak yang bakal ditimbulkan wabah dari Wuhan itu memunculkan rupa-rupa efek, yang salah satunya panic buying. Banyak konsumen membeli barang-barang dan menimbunnya, mulai tisu toilet, hand sanitizer, masker, maupun bahan makanan.

Kini, krisis energi pun terjadi di beberapa belahan dunia, seperti Tiongkok, Eropa, dan Inggris Raya. Ternyata panic buying pun masih tetap terjadi meski dalam tataran yang berbeda. Orang tetap berpotensi melakukan pembelian berlebihan, namun sebabnya bisa karena rantai pasokan yang terganggu atau efek perubahan iklim. Situasi ini pun seringkali dianggap sebagai gambaran masyarakat yang mulai berlaku irasional.

Melansir Fortune.com, dalam 18 bulan terakhir para psikolog telah mempelajari motivasi khas para penimbun. Mereka berupaya untuk memetakan motivasi ini dalam kaitannya dengan peran pemerintah dan apa yang kelak bakal dihadapi di masa mendatang. Namun, satu kesimpulan yang dihasilkan adalah: istilah ‘panic’ buying bukan berarti merujuk pada kondisi irasional.

Temuan tentang sebab terjadinya panic buying

Sebuah penelitian di Inggris menunjukkan bahwa konsumen dalam mode panic buying adalah mereka yang memiliki anak. Sedangkan pada penelitian lain di Singapura, panic buyers dimotivasi oleh rasa takut, tekanan sosial, dan tingkat keparahan situasi yang dirasakan.

Beberapa peneliti pun menemukan bahwa peningkatan rasa terancam, ketidakpercayaan pada orang lain, serta persepsi akan adanya risiko tinggi dapat menjadi faktor yang memotivasi panic buying. University of Cambridge pada Maret 2021 pun menemukan bahwa pandangan orang lain acap kali jadi faktor signifikan.

Sebuah penelitian dari Australia dalam Journal of Experimental Psychology mengemukakan bahwa panic buying adalah reaksi terhadap ketidakpastian yang ekstrem. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dalam situasi perubahan bertahap yang konstan, orang mungkin lebih cenderung bertahan dengan kebiasaannya yang lama.

Panic buying tidak selalu identik dengan kepanikan

Profesor psikologi sosial di Universitas Keele, Inggris, Clifford Stott, menyampaikan bahwa penggambaran tentang panic buying yang berlebihan di masyarakat, seperti video orang yang berkelahi di pasar swalayan karena berebut barang yang akan ditimbun adalah sesuatu yang tidak tepat. Dalam level ini, panic buying digambarkan sebagai ekspresi keegoisan dan kepanikan yang sebenarnya.

Ia berpendapat bahwa panic buying tidak selalu identik dengan kepanikan dan tindakan irasional. Menurutnya, orang-orang yang mengantre untuk mengisi bahan bakar kendaraan di Inggris tidak melakukan hal yang brutal dan egois.

Separah-parahnya, kata Clifford, orang-orang tersebut akan berkata, “Saya harus pergi dan bekerja. Bila tidak mengantre untuk mendapatkan bensin ini, saya tidak akan mendapatkan bahan bakarnya,” ucapnya. Jadi, hal ini bukanlah kepanikan. “Itu dengan pertimbangan. Jadi itu rasional," katanya.

Penggunaan tisu toilet yang sangat tinggi pada 2020, menurut Clifford, sebenarnya juga cukup rasional. Bayangkan penggunaan tisu toilet di luar rumah sebelum pandemi, ditumpuk jadi satu di rumah bersama keluarga selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Jadi, terkait situasi ini, pembelian tisu toilet yang ekstrem dari orang-orang sebenarnya masuk akal.

Related Topics