Pengamat: Peningkatan Investasi Tak Efektif Atasi Dampak Krisis Pangan
Konsep menguntungkan konsumen dan petani sulit terealisasi.
Jakarta, FORTUNE – Upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi di sektor pangan dalam negeri dinilai belum efektif untuk mengatasi krisis pangan global. Selain menggenjot produktivitas, pemerintah juga perlu meningkatkan kesejahteraan petani.
Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, mengatakan yang menanam tanaman pangan adalah petani dan bukan para pengusaha. “Pengusaha itu mikirnya profit,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Senin (13/6). “Repotnya, saat ini pertanian Indonesia untuk tanaman pangan nggak profit sama sekali.”
Meski begitu, Andreas mengakui ada beberapa sub sektor tanaman pangan, seperti holtikultura yang menghasilkan keuntungan secara fluktuatif. Namun demikian, bila Indonesia sudah berstatus importir satu komoditas pangan, akan sulit menanamnya secara mandiri di dalam negeri.
“Persoalan yang sesungguhnya adalah harga yang sangat rendah di tingkat usaha tani. Harga yang rendah juga di konsumen,” katanya.
Sedangkan, untuk menjaga tingkat harga yang rendah di konsumen, menurut Andreas, impor sudah cukup efektif melakukannya. “Karena disparitas harga yang lumayan tinggi anatara produk dalam negeri dan luar negeri,” ucapnya.
Kebijakan tarif adalah kunci utama
Andreas mengatakan, kunci dari pemasalahan harga ini adalah kebijakan tarif dari pemerintah. “Bagaimana mempertahankan supaya harga produk pertanian yang diproduksi oleh petani kecil itu menguntungkan,” katanya.
Saat ini usaha tani padi saja kurang menguntungkan, terutama untuk para petani yang memiliki lahan sempit. “Untuk petani yang memiliki lahan di bawah 1.500 meter persegi, rugi kalau nanam padi sampai Rp250.000,” ujarnya.
Jika tidak segera ditangani dengan serius, saat Indonesia menginjak usia 100 tahun merdeka, akan bergantung pada 50 persen tanaman gandum sebagai bahan makanan pokok.
“Ini artinya kita 100 persen melakukan impor (gandum),” ujarnya.
Tidak ada konsep ‘menguntungkan’ semua pihak
Dalam sistem pasar pangan terbuka dan liberal seperti di Indonesia saat ini, konsep ‘menguntungkan’ semua pihak–baik konsumen maupun petani–tidak akan pernah terjadi. Baginya, konsep ‘menguntungkan’ semua pihak ini tak lebih dari politis. Semua bergantung pada keberpihakan, dalam hal ini pemerintah dan segala kebijakan yang diterapkan.
“Jadi, ini tentang bagaimana pemerintah berusaha dengan segala cara untuk mengusahakan supaya konsumen mendapatkan harga pangan yang murah? Ya impor saja,” kata Andreas.
Bila pemerintah tetap menguntungkan konsumen, impor pangan Indonesia akan semakin tinggi. Dalam 10 tahun terakhir, jumlah impor 8 komoditas pangan utama Indonesia sudah naik hingga sekitar 20 juta ton.
“Pemerintah nurutin keingin konsumen, ya matilah petani, gitu aja,” katanya.
Presiden ajak anggota HIPMI investasi di sektor pangan
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajak seluruh anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) untuk memanfaatkan peluang di bidang pangan. “Pangan, energi, ini adalah peluang. Karena diperkirakan hari ini ada kira-kira 13 juta orang yang sudah mulai kelaparan di beberapa negara, karena urusan pangan,” katanya seperti dikutip dari laman Setkab, Senin, (13/6).
sejumlah negara bahkan sudah mulai membatasi ekspor pangan, sehingga kemandirian pangan menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia. Menurutnya, para pengusaha HIMPI dapat berkecimpung dalam usaha komoditas pangan seperti jagung, sorgum, sagu, singkong, hingga porang.
“Ke depan, saya pastikan karena ada problem besar yang lebih besar lagi, yaitu perubahan iklim, pangan akan menjadi persoalan seluruh negara,” ujarnya