Sentra Kedelai Bisa Gagal Bila Abaikan Harga Jual di Tingkat Petani
Petani Indonesia belum bisa saingi harga jual kedelai impor.
Jakarta, FORTUNE – Upaya pemerintah untuk menjadikan Kabupaten Serang sebagai pusat sumber pengembangan benih kedelai produktivitas tinggi dinilai tidak akan berhasil bila tak memperhatikan harga jual di tingkat petani.
Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas, mengatakan bahwa masalah mendasar yang sering tak tersentuh pemerintah adalah harga jual produk petani yang rendah bila dibandingkan produk impor.
“Kalau petani harus berhadapan dengan itu–produk impor yang memiliki harga lebih rendah lagi–ya sudahlah ngapain petani nanam kedelai?” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Kamis (15/9).
Harga produk impor yang rendah ini, dalam kategori ekonomi politik, menurutnya disebut sebagai low artificial price. “Harganya rendah tapi sesungguhnya buatan,” ucapnya. Melansir lexology.com, istilah artificial price mengacu pada harga yang sengaja dibuat atau dipertahankan, dan yang tidak mencerminkan kekuatan penawaran serta permintaan yang sebenarnya.
Padahal, Indonesia sebenarnya sangat memungkinkan untuk membudidayakan kedelai. “Secara teknis nggak ada masalah dan dari sisi benih juga tersedia,” katanya.
Kerugian di sisi petani
Menurutnya, ketika mengusung program pembibitan dan pembukaan sentra pengembangan, pemerintah harus melihat situasi ril yang terjadu di lapangan. “Yang tanam kan petani. Nah, ketika kita bicara pada level petani, pertanyaannya, bagi petani apakah menanam komoditas ini menguntungkan atau tidak,” tuturnya.
Andreas bilang, bahwa kedelai lokal Indonesia hingga saat ini belum bisa menandingi kedelai impor yang lebih murah lantaran biaya produksinya yang tinggi. Rerata biaya produksi kedelai dengan lahan milik sendiri berkisar di harga 8.000-10.000 rupiah per kilogram, kalau lahannya sewa berada di harga 10.000-13.000 rupiah per kilogramnya.
Sebelum kemarin harga kedelai naik tinggi, rata-rata kedelai di tingkat petani itu hanya dibeli Rp6.000 per kilogram. "Jadi nggak mungkin, (dijual) Rp6.000 (tapi) biaya produksi 8.000-10.000 rupiah, itu juga kalau lahan sendiri," katanya.
Dengan kondisi, banyak petani enggan menanam kedelai. Alhasil, 97 persen pasokan kedelai dalam negeri berasal dari impor.
"Kalau tidak menguntungkan, ya pasti tidak akan ditanam,” katanya.
Mentan minta Serang jadi sentra kedelai
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, meminta Pemerintah Kabupaten Serang menjadikan daerahnya sebagai pusat pengembangan benih kedelai dengan produktivitas tinggi. Langkah ini diharapkan pemerintah dapat mendukung swasembada kedelai dan tmengurangi ketergantungan pada impor dari Amerika Serikat dan Brazil.
“Saat ini harga kedelai konsumsi rata-rata 10.000-12.000 per kilogram. Hal ini menambah gairah petani untuk bertanam kedelai. Juga, yang tak kalah penting adalah sosialisasi hasil demplot secara masif untuk peningkatan minat petani. Ke depan, kita tidak lagi demplot tapi pengembangan berskala luas,” kata Menteri Syahrul saat mengunjungi gerakan panen kedelai di Serang, Rabu (14/9).
Langkah ini juga untuk memitigasi ancaman krisis pangan yang melanda dunia saat ini. Indonesia dinilai harus bisa memproduksi kedelai lokal berkualitas, supaya volume kedelai impor tak lagi mendominasi.
Varietas kedelai Migo
Dalam acara gerakan panen kedelai tersebut, Mentan mengungkapkan salah satu varietas kedelai yang akan dikembangkan adalah Dega 1 dan Migo (mikrombah google) 2. Jenis ini memiliki tingkat produktivitas tinggi dan diciptakan oleh seorang ahli pertanian, Profesor Ali Zum Mashar.
Jenis kedelai Migo, menurut Profesor Ali, memiliki kualitas yang bagus dengan biji yang besar. “Hasil panen dari varietas kedelai Migo ini dapat mencapai 4,5 ton kedelai per hetare, ini jauh dibandingkan varietas pada umumnya yang hanya mampu 2,5 ton per hektare,” katanya.
Ali juga menyebutkan bahwa penggunaan benih kedelai varietas produktivitas tinggi tentu dapat menguntungkan petani, dengan harga kedelai yang cukup baik di pasaran, yakni Rp12.000 per kilogram, sementara impor Rp10.000 per kilogram.