NEWS

GIMNI: Harga Sawit Tinggi Bisa Jadi Racun Bagi Industri

Ada dua racun yang berdampak buruk bagi industri sawit.

GIMNI: Harga Sawit Tinggi Bisa Jadi Racun Bagi IndustriPekerja menimbang buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). ANTARA FOTO/Makna Zaezar/aww.
by
28 July 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNl), Sahat Sinaga, menyatakan kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah telah sedikit mendongkrak harga minyak sawit mentah (CPO) domestik. Namun, kenaikan terlalu tinggi bakal tidak bagus untuk keberlanjutan industri.

“Harga sawit tinggi itu adalah 'racun' bagi persawitan indonesia. Jadi, jangan kita senang harga sawit tinggi,” katanya dalam diskusi bertajuk Dilema Minyak Goreng Sawit: Perspektif Stakeholder, Kamis (28/7).

Tender harga minyak sawit mentah (CPO) pada PT. Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) pada Rabu (27/7) naik Rp50 per kilogram menjadi Rp9.425 per kilogram. Pada Selasa lalu, harga per kilogram Rp 9.375.

Racun itu menyasar dua hal. Pertama, aspek produktivitas. Sahat mengatakan harga tinggi akan menyebabkan para petani sawit akan cepat berpuas diri. Sebab, jika harga TBS terlampau tinggi, para petani akan enggan mendongkrak produktivitasnya.

Hal tersebut berbeda dengan perusahaan sawit, yang akan terus mengejar produktivitas dengan Harga Pokok Produksi (HPP) serendah mungkin. “Jadi, para petani tidak mendorong untuk lebih produktif,” ujarnya.

Bisa ada minyak sawit sintetis

Ilustrasi palm olein. Shutterstock/nui7711

Harga CPO tinggi akan menimbulkan racun kedua, yakni kehadiran kompetitor baru. Sahat berpijak kepada sejarah komoditas minyak nabati yang menunjukkan bahwa jika margin produk itu tinggi, ada pesaing yang sedang membuat produk sejenis.

Dia berkaca pada 1950-an ketika harga karet mencapai US$3,7 per kilogram akibat perang Korea. Saat itu, para ahli kimia mengembangkan teknologi “synthetic rubber” atau karet sintetis. Maka, hadirlah inovasi yang menciptakan produk sama baiknya dengan kualitas mirip karet alam.

“Akibatnya, perkebunan karet sampai sekarang terpuruk. Apalagi jika harga minyak fosil itu di bawah US$60/barrel. Ini membuat synthetic rubber bisa dijual dengan harga rendah,” ujarnya.

Begitu pula dengan kondisi harga sawit tinggi seperti sekarang. Menurut Sahat mulai muncul inovasi yang dikembangkan peneliti untuk membuat synthetic palm oil atau minyak sawit tiruan.

“Kalau ada synthetic palm oil maka harganya dapat berkisar US$400-US$500 per ton. Jika produk ini dapat menyamai minyak sawit alami akan berdampak kepada harga TBS petani,” ujarnya.

Sahat memperkirakan minyak sawit sintetis berpeluang menekan harga TBS petani sampai titik terendah. “Apa yang akan dilakukan para petani sawit? Hasilnya tak akan berbeda dan menjadikan seperti kebun karet Indonesia masa kini, tanpa pemeliharaan tanaman,” katanya.

Sejumlah perusahaan bioteknologi telah mengembangkan minyak mikroba yang dapat menawarkan alternatif untuk minyak sawit.

Di Amerika Serikat, Xylome, perusahaan rintisan, menggunakan rekayasa metabolisme untuk mengembangkan ragi non-konvensional. Teknologi rekayasa ini membuat lipid baru, pengganti minyak sawit, biokimia dan enzim. Xylome mendapatkan paten atas teknologi baru yang radikal untuk membuat pengganti minyak sawit.

Related Topics