NEWS

Anggaran Subsidi BBM Bakal Membengkak di Tahun Ini

Kenaikan ICP sebabkan harga keekonomian BBM meningkat.

Anggaran Subsidi BBM Bakal Membengkak di Tahun IniShutterstock/Red ivory
09 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Anggaran subsidi migas diprediksi bakal membengkak lantaran kenaikan harga minyak dan gas dunia akibat konflik Rusia-Ukraina sejak 22 Februari lalu. Pasalnya, kenaikan tersebut telah melampaui asumsi makro pemerintah dalam APBN tahun ini.

Sebagai informasi harga minyak dunia hari ini telah menembus level US$133 per barel, dan diperkirakan bakal terus membengkak seiring dengan penerapan sanksi larangan impor minyak mentah Rusia oleh Amerika Serikat. Sementara di tahun ini, pemerintah hanya mematok harga minyak dalam asumsi makro APBN 2022 sebesar US$63 per barel. 

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan meski kenaikan harga komoditas termasuk Indonesian Crude Price (ICP) berdampak positif terhadap pendapatan negara, terutama PNBP, tetapi hal tersebut juga akan mengerek belanja negara.

“Terutama subsidi energi yang menjadikan ICP menjadi salah satu parameter utama dalam perhitungannya,” ujarnya, Rabu (9/3).

Meski demikian, kata Isa, pemerintah bakal terus memantau pergerakan harga minyak dunia dan mengukur dampaknya terhadap APBN, serta mengambil kebijakan yang diperlukan secara menyeluruh dengan melihat dari sisi potensi penerimaan negara, beban terhadap belanja negara serta konsekuensi terhadap pembiayaan anggaran.

Selain itu, pemerintah akan terus melakukan monitoring perkembangan perekonomian, termasuk volatilitas harga komoditas terkini dalam rangka antisipasi kebijakan.

“Pemerintah akan memastikan respons kebijakan mengutamakan stabilitas perekonomian nasional dan menjaga supply barang kebutuhan pokok masyarakat, baik pangan maupun energi, serta menjaga keberlanjutan fiskal yang mendukung dunia usaha,” jelasnya.

Sebelumnya, hal serupa juga disampaikan Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi, pada awal Maret lalu.

Menurut Agung, kenaikan harga minyak acuan pemerintah (Indonesian Crude Price/ICP) menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG serta kompensasi BBM dalam APBN.

Ia mencontohkan, kenaikan harga US$1 per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun

"Beban subsidi, khususnya BBM dan LPG juga meningkat dan bisa melebihi asumsi APBN 2022. Belum lagi biaya kompensasi BBM. Namun yang pasti, Pemerintah terus mengamankan pasokan BBM dan LPG," ungkapnya.

Defisit neraca dagang migas melebar

Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, sebagai net oil importer, dengan porsi ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap migas yang  cukup besar (51 persen), kenaikan harga minyak akan semakin memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan migas nasional. 

Defisit neraca perdagangan migas yang ada kemungkinan bakal semakin membesar, sementara perolehan tambahan devisa dari kenaikan harga, tidak akan mampu menutup biaya defisit tersebut. 

Sebagai gambaran, kebutuhan devisa untuk impor migas dengan asumsi harga minyak US$120 per barel saja dapat mencapai sekitar US$49,27 miliar; yakni untuk impor minyak dan produk BBM sekitar US$44,04 miliar dan impor LPG sekitar US$5,23 miliar.

"Kebutuhan devisa impor migas tersebut kurang lebih setara 35 persen dari cadangan devisa Indonesia saat ini yang tercatat sekitar US$141 miliar," tulis ReforMiner Institute dalam sebuah catatan. 

Menurut lembaga tersebut, penyelesaian mendasar atas persoalan di atas adalah melalui peningkatan produksi migas nasional dan pengembangan EBT secara masif untuk mengurangi ketergantungan ekonomi-energi Indonesia dari migas. 

Namun, dua hal ini memerlukan landasan payung hukum yang kuat. Dalam konteks tersebut dua “pekerjaan rumah” besar yang perlu segera  dituntaskan adalah penyelesaian revisi Undang-Undang Migas dan penyelesaian penyusunan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT).

"Ini sebagai payung hukum yang kuat untuk lebih mendorong kegiatan pengusahaan dan pengembangan migas dan EBT nasional," tandasnya.

Related Topics