NEWS

Apa Itu Hiperinflasi?

Mengenal hiperniflasi dan dampak buruknya ke perekonomian.

Apa Itu Hiperinflasi?Shutterstock/Luis A. Orozco
23 August 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Apa itu hiperinflasi? Pertanyaan demikian mungkin muncul di kepala Anda lantaran  sering diucapkan para pejabat negeri belakangan ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, kata hiperinflasi seolah jadi momok yang menakutkan bagi banyak negara di tengah ancaman kenaikan harga komoditas global.

Bahkan, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo mewanti-wanti hal tersebut kepada pemerintah dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI & DPD RI pada Selasa (16/8) pekan lalu.

Kekhwatiran itu disebabkan oleh kenaikan berturut-turut inflasi nasional dalam beberapa bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, per Juli 2022, laju inflasi telah berada di level 4,94 persen.

Dengan dinamika dunia yang masih penuh ketidakpastian--terganggunya rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina dan peningkatan tensi geopolitik kawasan yang berpotensi memicu konflik baru--ancaman demikian menjadi kian wajar.

"Pada bulan September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiper-inflasi dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," kata Bambang.

Namun, apa sebenarnya hiperinflasi?

Menurut kamus Cambridge, hiperinflasi adalah kondisi di mana harga segala sesuatu dalam perekonomian nasional menjadi tidak terkendali dan meningkat dengan sangat cepat. Sejauh ini, garis antara inflasi wajar dengan hiperinflasi memang masih agak kabur.

Namun, para ekonom kontemporer umumnya menggunakan istilah ini untuk situasi di mana tingkat harga melewati level 50 persen per bulan atau per tahun. 

Adapun Wakil Presiden RI ke-11 Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia, mengatakan hiperinflasi ditandai dengan ditandai dengan laju inflasi yang sangat tinggi, yakni sekitar 100 persen atau lebih. Namun ada satu ciri khas yang membedakan hiperinflasi dengan inflasi biasa, kata dia: hilangnya kepercayaan orang memegang uang.

Pernah terjadi di Indonesia

Lantas apakah Indonesia pernah mengalami hiperinflasi?

Memang, jika mengacu pada ciri khas yang disampaikan Boediono, hilangnya kepercayaan orang memegang uang adalah gejala psikologis yang sulit diukur,

Namun, kata mantan Gubernur Bank Indonesia, hiperinflasi di Indonesia pernah terjadi pada 1961 dan beberapa tahun setelahnya. Ini ditandai dengan peningkatan kecepatan peredaran uang (volocity of sirculation of money) yang ia sebut sebagai "V".

Kenaikan V tersebut juga menimbulkan paradoks, yaitu meskipun jumlah uang beredar terus bertambah dengan cepat, para pelaku ekonomi terus merasa kekurangan likuiditas. 

Ini terjadi lantaran dalam hiper inflasi kenaikan harga lebih cepat daripada kenaikan uang beredar telah menggerogoti kemampuan uang yang beredar untuk melakukan transaksi.

Akibatnya, nilai riil uang beredar sebenarnya menurun, sehingga uang yang ada di tangan tak pernah cukup untuk membiayai transaksi.

Waktu itu, kondisi hiperinflasi ini disebabkan oleh ambisi pemerintah Orde Lama untuk dalam membangun proyek-proyek mercusuar dengan mencetak rupiah lebih banyak. Uang yang beredar lebih besar itu digunakan untuk membayar hutang dan mendanai proyek-proyek yang dibangun.

Imbasnya, inflasi menembus 600 persen. Sementara, pendapatan per kapita Indonesia menurun secara signifikan (terutama pada tahun 1962-1963). Imbasnya, pada 13 Desember 1965 pemerintah melakukan pemotongan nilai rupiah (Sanering) dari Rp1.000 menjadi Rp1.

Dampak buruk hiperinflasi

Boediono juga menjelaskan bahwa hiperinflasi memiliki dampak buruk berupa mandeknya aktivitas ekonomi. Ini diperparah dengan adanya perubahan psikologi para pelaku ekonomi untuk mencari keuntungan.

Alih-alih melakukan produksi yang membutuhkan waktu lebih lama, mereka memili melakukan jual-beli (trading)--beli pagi, jual sore. Kegiatan produksi, apalagi investasi, makin ditinggalkan dan sektor riil menjadi menderita. 

Meski demikian, baik inflasi maupun hiperinflasi, selalu merupakan proses interaksi yang intens antara ekonomi dan politik. Karena itu pula, kata dia, sejarah membuktikan bahwa hiperinflasi biasanya berakhir dengan adanya perubahan sistem politik. Hal itu lah yang terjadi di Indonesia pada 1966, ketika Orde Lama tumbang. 

Sementara sebelumnya, di kurun 1957-1966, sektor utama ekonomi Indonesia mengalami stagnansi. Ia menyebut, misalnya, sektor industri, transportasi, pemerintahan dan jasa mengalami kemunduran, dilihat dari penurunan PDB yang drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Memang PDB Total dan PDB Migas masih mengalami pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan itu masih di bawah kenaikan laju penduduk. Sehingga pada kurun tersebut, PDB per kapita turun 0,6 persen per tahun.

Related Topics