NEWS

Beban Bunga Numpuk, Kemenkeu Kurangi Utang Tahun Ini

Penerimaan pajak yang lebih kuat kurangi kebutuhan berutang.

Beban Bunga Numpuk, Kemenkeu Kurangi Utang Tahun IniShutterstock/Haryanta.p
13 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu memastikan penambahan utang pemerintah bakal direm tahun ini mengingat kondisi penerimaan negara yang mulai pulih. Hal tersebut, kata dia, juga untuk menepis kekhawatiran soal tingginya bunga utang yang harus dibayar pemerintah di 2022.

Sebagai catatan, alokasi dana untuk pembayaran bunga utang tercatat mencapai Rp405,87 persen atau 20,87 persen dalam APBN tahun ini. Rinciannya, sebesar Rp393,69 triliun untuk pembayaran bunga utang dalam negeri dan Rp12,17 triliun untuk bunga utang luar negeri.

"Jadi jangan khawatir. Di 2022, utangnya juga akan lebih terkendali," ujarnya dalam Taklimat Media BKF, Rabu (12/1).

Menurut Febrio, besarnya alokasi pembayaran bunga utang dalam APBN 2022 juga belum mempertimbangkan kondisi penerimaan negara dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Seperti diketahui, UU HPP memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak lewat tax amnesty hingga penambahan lapisan tarif PPh orang pribadi.

"APBN 2022 waktu itu dibuat dan disepakati September 2021 bersama DPR. Waktu itu kita masih melihat kondisi perekonomiannya as is, dan belum ada Undang-Undang HPP. Sekarang ada UU HPP, kita lihat di 2021 penerimaan kan meningkat cukup tajam, sampai 21 persen. Dengan baseline seperti itu pertumbuhan di 2022 pun kita hitung, jadi kita relatif dibandingkan dengan APBN 2022 penerimaan cukup kuat sehingga memang akan mengurangi kebutuhan pembiayaan," jelasnya.

Alasan Beban Bunga Naik

Sekedar informasi, pembayaran bunga utang pemerintah mencapai Rp343,5 triliun di 2021. Jumlah tersebut lebih rendah dari pagu APBN yang ditetapkan Rp373,3 triliun. Meski demikian, jika dibandingkan realisasi pembayaran bunga utang pemerintah di 2020 yang sebesar Rp 314,1 triliun, terdapat kenaikan pembayaran bunga utang Rp29,4 triliun di tahun lalu.

Menurut Febrio, hal ini berkaitan dengan nilai utang yang masih meningkat, terutama dari tahun 2020 lalu. "Di mana kita tahu kenaikan utang 2020 itu, kan, jelas counter cyclical, naik dari 29,7 persen ke 39,4 persen rasionya terhadap PDB. Tapi kemudian 2022 itu mulai balik lagi, flat," jelasnya. 

Selain itu, dengan baseline pertumbuhan penerimaan yang baik di 2021, ia yakin kinerja pajak di tahun ini juga relatif cukup kuat. "Itu sudah terjadi di 2021 juga, kebutuhan pembiayaan kita berkurang cukup signifikan sekitar Rp200-an triliun sehingga bunga utangnya pun di 2021 itu sudah turun dibandingkan APBN-nya. Jadi lebih rendah realisasinya, sehingga masuk 2022 tren itu akan berlanjut, jadi ada peluang," ungkapnya. 

Kemudian, turunnya beban utang juga akan didorong oleh kebijakan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas pasar keuangan. "Tentunya pengelolaan utang yang sangat pruden yang dilakukan DJPPR, di satu sisi juga memang ada komponen burden sharing dengan BI, yang masuk dengan SKB 2 dan 3, itu terutama, memang berdampak pada biaya bunga yang harus ditanggung pemerintah, dan ini posisi yang baik," tandasnya.

Related Topics