NEWS

Pertaruhan Kedibilitas Pemerintah untuk Turunkan Defisit APBN

Beban pemerintah turunkan defisit ke bawah 3% kian berat.

Pertaruhan Kedibilitas Pemerintah untuk Turunkan Defisit APBNSosialisasi pemakaian masker dan vaksinasi di sebuah pasar di Banda Aceh (30/9). Penularan Covid-19 masih membayangi, dan vaksin menjadi upaya pokok membendung persebaran demi memungkinkan lancarnya perputaran roda ekonomi. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
30 September 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Beban pemerintah dalam melakukan konsolidasi fiskal tahun depan diprediksi akan semakin berat. Terlebih sejumlah indikator perekonomian masih belum menunjukkan pemulihan. Sementara, periode pelonggaran defisit APBN di atas tiga persen PDB bakal berakhir pada penghujung 2022.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengatakan konsolidasi fiskal merupakan satu kesatuan yang utuh dalam serangkaian kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Karena itu, keberhasilannya merupakan pertaruhan untuk menjaga kredibilitas pemerintah. "Undang-Undang nomor 2 tahun 2020 mengamanatkan agar defisit kembali maksimal 3 persen di tahun 2023. Sehingga langkah konsolidasi merupakan komitmen untuk menjaga kredibilitas pemerintah," tulis BKF dalam Tinjauan Ekonomi, Keuangan dan Fiskal Edisi II, dikutip Fortune Indonesia, Kamis (30/9).

Di sisi lain, defisit yang terus dipertahankan di atas tiga persen ketika pendapatan negara belum optimal dapat menimbulkan crowding out effect pada pasar keuangan yang dapat menghambat investasi sektor swasta.

Dalam perspektif makro fiskal, pelebaran defisit yang tinggi berdampak pada rasio utang yang terus meningkat. Kondisi tersebut berpotensi mengganggu kesinambungan dan kredibilitas fiskal yang merupakan jangkar perekonomian. "Peningkatan stok utang akan meningkatkan beban biaya utang sehingga mempersempit ruang fiskal ke depan," jelas BKF.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Rendy Yusuf Manilet, menilai naik-turunnya kasus Covid-19 masih akan membayangi pemulihan ekonomi tahun depan. Sebab, jangkauan populasi yang telah mendapatkan vaksinasi di Indonesia terbilang rendah.

Indonesia masih menempati posisi 118 dengan jangkauan vaksinasi 7,6 persen berbanding total penduduk, jauh di bawah perkiraan batas minimal vaksinasi agar wabah bisa terkendali, yakni 39 persen.

Dibandingkan negara-negara yang mulai menyelenggarakan aktivitas publik dengan normal—misalnya pertandingan olahraga atau konser berpenonton massal—Indonesia sangat jauh tertinggal. Inggris dan Amerika Serikat, misalnya, telah mencapai jangkauan vaksinasi masing-masing 50,5 persen dan 57,5 persen.

Jika gelombang baru Covid-19 gagal dicegah pemerintah seperti tahun ini, maka pemerintah bisa kembali memperpanjang pelonggaran batas defisit dalam beberapa tahun mendatang.

"Ini akan dipengaruhi transisi pemulihan tahun depan. Apakah berjalan mulus atau terjadi seperti di tahun ini. Artinya naik turun. Ketika di kuartal kedua cukup tinggi tapi di kuartal ketiga kasusnya cukup tinggi," ujarnya kepada Fortune Indonesia.

Pilihan sulit juga harus diambil pemerintah jika pelonggaran defisit diputuskan untuk tidak diperpanjang, yakni mengorbankan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah dari target. Pasalnya, kemampuan pemerintah untuk melakukan countercyclical makin terbatas mengingat rasio pendapatan terhadap PDB 3 tahun terakhir terus merosot, sementara belanjanya kian meningkat.

"Jangan sampai mengejar target konsolidasi fiskal sampai mendorong perekonomian tidak ekspansif. Jangan sampai stimulus sudah ditarik, tapi masyarakat belum pulih seutuhnya. Saya kira pos belanja esensial supaya belanja terekspansi seperti bansos subsidi dan PEN kesehatan harus dijaga sehingga nantinya di 2023 kelas menengah bawah sudah lebih siap dalam proses transisi," ujarnya.​​​​

Kurangi Utang, Kerek Pendapatan

Rendy juga mengingatkan beban utang pemerintah harus mulai dikurangi seiring penurunan defisit APBN tahun depan. Sebagai catatan, pemerintah mematok target defisit fiskal sebesar 4,85 persen atau Rp868,02 triliun pada 2022. Artinya, ada celah cukup lebar untuk mengembalikan defisit ke bawah 3 persen.

Kebijakan penarikan utang juga harus memperhatikan risiko stabilisasi keuangan global di tengah potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Federal Reserve.

"Kenaikan bunga karena ada tapering The Fed tentu akan berpotensi meningkatkan imbal hasil surat utang negara berkembang, sehingga cost of fund sedikit lebih mahal. Makanya kalau pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh sesuai acuan dan penerimaan negara bisa tumbuh, ini biasa diandalkan," tuturnya.

Menurut Rendy, reformasi perpajakan yang digalakkan pemerintah penting. Tapi hal ini harus dilakukan secara bertahap dengan memerhatikan prinsip keadilan yang berbasis pada aktivitas ekonomi, serta memperkuat fungsi redistribusi pendapatan.

Apalagi, menurutnya target pendapatan negara tahun depan sebesar Rp1.846,14 triliun meliputi penerimaan perpajakan Rp1.510 triliun—naik Rp4 triliun dari Rp1.506,9 triliun—serta pendapatan negara bukan pajak (PNBP) Rp355,55 triliun dan hibah Rp579 miliar juga sangat tinggi. 

"Harus hati-hati seperti pajak UMKM yang tidak lagi PPh final karena UMKM sangat rentan terhadap pemulihan ekonomi. Karena tahun depan juga kan masih penuh ketidakpastian bagi mereka. Jangan lupakan juga UMKM harusnya disupport dulu supaya naik kelas baru dipikir cara menarik pajaknya," jelasnya.

Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad. Dalam reformasi perpajakan, menurutnya pemerintah perlu mengkaji ulang rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan.

Di samping itu, penerapannya juga perlu perlu diundur hingga 2023 atau ketika perekonomian telah mengalami pemulihan secara penuh. Pasalnya, tingkat kesejahteraan masyarakat tahun depan diperkirakan masih relatif stagnan, atau bahkan turun. 

Dari sisi daya beli masyarakat, inflasi, indeks keyakinan konsumen tahun depan juga diprediksi belum pulih. Bantuan dari pemerintah justru masih diperlukan alih-alih dibebani kenaikan tarif PPN.

"Ekonomi harus berjalan dengan lancar dulu. Kalau dibebani rencana kenaikan PPN, saya kira itu akan menjadi persoalan yang cukup serius,” katanya.

Ia juga mengingatkan bahwa rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN justru akan mengurangi pendapatan negara karena harga komoditas berpotensi akan semakin mahal. Dampaknya, masyarakat akan kembali mengurangi tingkat konsumsinya seiring dengan belum berakhirnya krisis. "Ini pasti larinya akan ke penerimaan negara yang turun," ujarnya.

Related Topics