NEWS

INDEF: Pemerintah Jangan Beri Solusi Palsu Transisi Energi

Kapasistas listrik EBT Indonesia rendah di antara G20.

INDEF: Pemerintah Jangan Beri Solusi Palsu Transisi EnergiBayangan sejumlah peserta tenaga pengajar yang melihat teknologi Panel Surya tipe rooftop di PT. Surya Energi Indotama. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)
17 November 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan pemerintah perlu memfokuskan kembali rencana transisi energi nasional dan memastikan solusi yang diberikan tidak mengarah pada greenwashing

Hal ini diperlukan agar pendanaan senilai US$20 miliar yang disalurkan melalui kemitraan Just Energy Transition (JETP) benar-benar berdampak pada penurunan emisi terutama di sektor energi.

"Kita harus hati-hati dengan false solutions, yang sepertinya menjanjikan tapi tidak besar dampaknya seperti biodiessel, nuklir atau gasifikasi, karena itu fokusnya lebih mengurangi impor dibandingkan real energy transition. Jadi ini harus ditunggu seperti apa langkah Indonesia," ujarnya dalam Diskusi Publik "Urgensi dan Tantangan Transisi Energi G20", Kamis (17/11).

Menurut Berly, komitmen Indonesia dalam transisi energi relatif tertinggal dibandingkan negara-negara G20 lainnya. Sebagai contoh, kecepatan transisi ke energi baru terbarukan (EBT) Indonesia pada kurun 2017-2021 berada di posisi paling buncit di antara negara lainnya.

"Jadi karena ada peningkatan bauran batu bara dalam energi nasional, kita malah decline (kecepatannya) jadi 0,1 persen. Kita berada di paling bawah. Australia yang bisa meningkatkan cukup signifikan, bahkan satu bulan terakhir mereka sign agreement dengan Singapura untuk jual renewable solar energy dari Australia ke Singapura, jadi pakai kabel melintasi Indonesia. Pertanyaanya, why not us yang jauh lebih dekat," tuturnya.

Tak hanya itu, dari sisi karbon emisi, Indonesia juga berada di posisi cukup besar dengan kontribusi sebesar 4 persen dari total emisi G20 selama periode 2015-2020. Negara-negara G20 sendiri menyumbang 72 persen dari total emisi global.

"Dari 20 negara, Indonesia emisinya paling besar nomor 5. Kemudian juga yang pertumbuhannya paling tingi. Indonesia tumbuh 10 persen secara tahunan emisinya. Nah ini kita harus segera turunkan," tuturnya.

Kapasitas terpasang EBT Indonesia nomor 17 di G20

Meski pertumbuhan emisi gas rumah kaca Indonesia cukup tinggi di antara negara-negara G20, Berly menuturkan bahwa proporsi emisi sektor energi Indonesia relatif lebih rendah. Indonesia berada di urutan ke 15 sebagai negara yang emisi sektor energinya paling tinggi di kelompok G20, yakni hanya sebesar 15 persen.

Emisi gas rumah kaca sektor energi tertinggi berasal dari Afrika Selatan sebesar 45 persen, disusul Korea Selatan (44 persen), Jepang (39 persen), China (35 persen), Saudi Arabia (34 persen), dan Rusia (33 persen).

"Walaupun setelah dilihat proporsi emisi dari energi Indonesia hanya 15 persen. Tapi dengan masih adanya pembangunan PLTU IPP (Independent power producer) yang belum disetop, jadi kemungkinan akan mengalami peningkatan," tuturnya.

Kemudian, jika dilihat dari sisi bauran EBT dalam sistem kelistrikan nasional per 2021, Indonesia juga masih tertinggal jauh dibandingkan negara-negara G20 lainnya. Kapasitas EBT Indonesia tercatat 11.157 Megawatt (MW) dan berada di posisi ke-17 atau ketiga terbawah di G20.

Posisi paling atas justru ditempati China dengan kapasistas EBT terpasang mencapai 1.020.234 MW disusul Uni Eropa (511.578 MW), Àmerika Serikat (325.391 MW), Brazil (159.943 MW) dan India (147.122 MW).

"Kita melihat kapasitasnya nomor 17 Indonesia. Kita bottom three, hanya di bawah Saudi dan South Africa, berarti ini jadi tantangan, dalam beberapa tahun kedepan tidak lagi jadi bottom three dalam renewable energy," tandasnya.

Related Topics