NEWS

INDEF: Tantangan Ekonomi pada Akhir Tahun Lebih Berat

Cadangan devisa bisa tergerus lebih dalam.

INDEF: Tantangan Ekonomi pada Akhir Tahun Lebih BeratIlustrasi resesi ekonomi global. (Pixabay/Elchinator)
09 November 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Indonesia bakal menghadapi sejumlah tantangan berat perekonomian pada akhir tahun nanti. Pemerintah perlu mewaspadai tiga hal dalam dua bulan terakhir 2022 ini. Pertama, penurunan Purchasing Managers' Index (PMI). Lalu, perang suku bunga simpanan. Dan yang terakhir, tergerusnya cadangan devisa. 

Peringatan itu disampaikan oleh Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto dalam konferensi pers bertajuk "Respons INDEF terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kuartal-III Tahun 2022", Selasa (8/11).

Menurutnya, PMI Manufaktur mulai turun pada Oktober lalu. Meski masih berada pada 51,8—level ekspansif—secara triwulanan ia harus tumbuh di atas 1 persen untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,2 persen pada akhir tahun.

"Triwulan keempat tak bisa hanya tumbuh 1 persen. Jadi harus tumbuh minimal di atas 1 persen. Atau kalau bisa sama seperti triwulan III, yaitu 1,2. Kuartalannya ya. Sementara ini tinggal dua bulan. Bahkan kurang dari dua bulan karena November sudah berjalan," ujarnya.

Dalam hal suku bunga perbankan, 'perang' dapat terjadi lantaran saat ini dana pihak ketiga (DPK) perbankan telah mulai surut karena roda perekonomian mulai bergerak dan masyarakat mulai membelanjakan uangnya.

Di sisi lain, pertumbuhan kredit perbankan ikut meningkat sehingga likuiditas perbankan berpotensi menjadi seret. Karena itu, Eko menilai perbankan akan mulai menaikkan suku bungan simpanannya untuk menarik lebih banyak DPK. 

"Bank tidak boleh kekurangan likuiditas. Jadi, caranya adalah naikkan bunga. Dan tren globalnya juga naikkan bunga. Tahap berikutnya adalah kenaikkan bunga perbankan, sepertinya ke depan ini tak bisa dihindari," katanya.

Implikasi negatif dari kebijakan tersebut adalah konsumsi akan kembali melambat karena orang lebih memilih memupuk dananya di bank. "Ujungnya, ekonomi bisa melambat. Ini yang harus diantisipasi. Kalaupun ada penyesuaian suku bunga, misalnya, harus lebih moderat," ujarnya.

Devisa tergerus di tengah penguatan dolar

Hal lain yang perlu diwaspadai pemerintah adalah penguatan dolar akibat kenaikan suku bunga Fed. Inflasi AS memang mulai melandai. Namun, bank sentral Amerika Serikat tidak kunjung menurunkan agresivitasnya dalam mengerek suku bunga.

"Bahkan ketika melihat data inflasi AS agak sedikit melandai meski masih di atas 8 persenan, banyak yang memperkirakan kenaikan Fed Fund Rate tidak akan sampai 75 bps. Tapi, kenyataanya berbeda," kata Eko.

Gairah Fed itu akan membuat aliran modal kembali ke AS dan memperkuat dolar. Bagi Indonesia, hal ini menjadi ancaman bukan saja karena akan melemahkan rupiah, tapi pula mendorong penggunaan cadangan devisa lebih besar.

"Cadangan devisa tiga bulan terakhir turun, dan sekarang hanya mampu mencukupi 5,8 bulan impor. Sekarang di angka US$130-an miliar. Di 2019 dengan angka segitu mampu biaya impor 6-7 bulan," ujarnya.

Pada Desember permintaan dolar biasanya akan meningkat karena aktivitas liburan. Dan lalu, "dari sisi permintaan sendiri, triwulan III itu net expor kita sudah mengendur. Net impornya triwulan III justru sudah lebih kencang. Itu berarti permintaan dolar lagi ,dan membuat cadangan devisa tergerus," katanya.

Related Topics