NEWS

Kemenkeu Kaji Pembentukan BLU untuk Kelola Pungutan Ekspor Batu Bara

Pungutan ekspor dibahas setelah BLU terbentuk.

Kemenkeu Kaji Pembentukan BLU untuk Kelola Pungutan Ekspor Batu BaraGedung DJKN Kemenkeu. Shutterstock_haryanta.p
12 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan pemerintah tengah mengkaji pembentukan badan layanan umum (BLU) yang akan jadi pengelola iuran ekspor dari para perusahaan batu bara. Pungutan itu nantinya akan digunakan untuk menutupi selisih harga Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang dibeli PLN dengan harga pasar.

"Ini masih dibicarakan detailnya, tapi ini akan membuat sistem menjadi baik dan menghindari ketidakpastian," ungkap Febrio dalam Taklimat Media BKF, Rabu (12/1).

BLU yang tengah dibahas tersebut merupakan bagian dari skema baru tata kelola batu bara untuk pembangkit listrik PT PLN (Persero). Tujuannya untuk menghindari kelangkaan pasokan yang berisiko menyebabkan krisis listrik di tanah air.

Skema itu, dalam paparan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinvest) yang diterima Fortune Indonesia, juga akan mengatur kewajiban perusahaan batu bara untuk mengalokasikan produksinya ke PLN. 

Nantinya, PLN akan mengikat kontrak jual-beli selama setahun dengan beberapa perusahaan batu bara yang memiliki spesifikasi produk sesuai dengan kebutuhan pembangkit PLN, berkalori 4.050-6.485 kcal/kg. Sementara perusahaan batu bara dalam negeri yang tak memiliki spesifikasi produk tersebut dan tak bisa berkontrak dengan PLN akan dikenakan sanksi sesuai Keputusan Menteri ESDM nomor 139.K/HK.02/MEM. B/2021.

Nilai harga kontrak antara PLN dan perusahaan akan disesuaikan per tiga atau enam bulan sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Namun, harga yang akan dibayar PLN tetap mengacu pada ketentuan DMO yakni US$70 per ton, sementara selisihnya akan ditanggung oleh BLU yang akan terbentuk.

Misalnya, jika harga pasar batu bara dengan kalori 4.700 kcal/kg ditetapkan sebesar US$162 per ton dalam kontrak jual beli, BLU akan menambah kekurangan pembayaran sebesar US$8 dolar untuk tiap ton batu bara yang dipasok ke PLN.

Meski demikian, besarnya pungutan iuran ekspor yang akan ditetapkan ke perusahaan batu bara belum ditentukan hingga saat ini. Febrio mengatakan besarannya bakal ditentukan belakangan setelah BLU terbentuk.

Yang jelas, skema BLU tersebut tak akan menambah beban subsidi yang harus digelontorkan pemerintah ke PLN. Justru hal ini akan membantu koordinasi antara PLN dan pengusaha batu bara.

"Membantu terjadi koordinasi baik dengan mereka, sama dengan BLU yang lain. Di kelapa sawit misalnya, BPDKS ini membantu usaha koordinasi dengan pemerintah untuk kebijakan menjadi lebih baik. Nah logikanya mirip itu, jadi tidak ada dampak ke APBN, aman dan sehat. Jadi ini kita pastikan suplai batu bara aman dan tidak ada dampak ke APBN," jelasnya.

PLN Mulai Kontrak Jangka Panjang

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya telah merombak kontrak beli batu bara dari jangka pendek menjadi jangka panjang. Hal ini menguatkan wacana bahwa perusahaan batu bara dapat menjual produknya untuk PLN dengan harga pasar

Kemudian PLN juga menegaskan akan tetap membeli batu bara dengan harga US$70 per ton yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri ESDM.

Selain itu, PLN juga melakukan evaluasi kontraktual, di mana fleksibilitas-fleksibilitas yang menghadirkan ketidakpastian dalam pemenuhan pasokan batu bara akan diminimalisir. Menurut Darmawan, fleksibilitas kontrak untuk mengantisipasi fluktuasi demand listrik yang mempengaruhi kebutuhan pasokan batu bara. Sehingga diharapkan PLN lebih mendapat kepastian ketersediaan energi primer batu bara.

"Mengingat operasional PLTU itu bersifat jangka panjang, maka PLN juga perlu mengamankan ketersediaan batu bara dalam jangka panjang," ujar Darmawan dalam keterangan resminya.

Sejak lama, Kementerian ESDM memang berencana mengubah skema penentuan harga batu bara acuan (HBA) untuk menekan disparitas harga komoditas tersebut di pasar domestik dan internasional. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Ridwan Djamaluddin lewat keterangan resmi di situs Kementerian ESDM, pada 11 November 2021 mengatakan bahwa pengaturan harga akan dilakukan dengan menetapkan batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price).

"Kami mencoba melihat peluang-peluang pengaturan yang lebih baik dan memberikan keadilan bagi para pelaku usaha (pertambangan)," kata Ridwan.

Ridwan menjelaskan, jika skema baru ini tidak ditetapkan, ada potensi kecenderungan produsen batu bara menghindari kontrak dengan konsumen dalam negeri saat harga "emas hitam" naik.

"Saat harga naik, (produsen) lebih memilih denda bila harga batubara domestik jauh lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional," Ridwan menambahkan.

Opsi penetapan harga batas bawah sendiri bertujuan untuk melindungi produsen batu bara agar tetap dapat berproduksi pada tingkat keekonomiannya saat harga batu bara sedang rendah. Sebaliknya, harga batas atas dibutuhkan agar konsumen dalam negeri tetap dapat membeli batu bara dengan harga terjangkau.

Kemudian, Kementerian ESDM juga akan membuat aturan kontrak penjualan dalam negeri melalui skema harga tetap (fixed price) dengan besaran harga yang disepakati secara Business to Business (B to B). "Skema ini akan memberikan kepastian bagi produsen batu bara maupun konsumen batu bara dalam negeri terkait jaminan harga dan volume pasokan," tutup Ridwan.

Related Topics