NEWS

Keuangan Daerah Belum Efisien, Honor PNS Bisa Capai Rp25 Juta

UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah disahkan.

Keuangan Daerah Belum Efisien, Honor PNS Bisa Capai Rp25 JutaMenteri Keuangan Sri Mulyani mengikuti rapat dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/9). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

by Hendra Friana

08 December 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masih banyak daerah yang belum mengelola keuangannya secara efisien dan memanfaatkannya dengan optimal. Penggunaan dana alokasi umum (DAU) misalnya, lebih didominasi untuk belanja pegawai ketimbang program-program pelayanan publik.

Besarnya porsi belanja pegawai itu juga tercermin dari besaran honorarium pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Meski jumlahnya bervariasi di tiap daerah, namun ia menemukan gap yang cukup jauh yakni antara Rp325 ribu sampai Rp25 juta.

"Bervariasinya pemberian honorarium PNS daerah dari minimal sebesar Rp325 ribu hingga maksimal Rp25 juta," ujarnya dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (7/11).

Tak hanya honorarium, Sri Mulyani juga mengungkap besaran perjalanan dinas PNS daerah yang menurutnya tak efisien. Bahkan jumlah uang perjalanan dinas PNS di daerah lebih tinggi dari para abdi negara di pusat. "Uang harian perjalanan dinas yang rata-rata 50 persen lebih tinggi dari pusat," mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Menurut Sri Mulyani, kondisi yang berlangsung sejak era desentralisasi keuangan tersebut tak ideal dan menciptakan ketimpangan antar daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Karena itu, kondisi ini perlu disikapi dengan penyusunan kebijakan baru yaitu Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (RUU HKPD). 

"Oleh karena itu di UU ini kita coba menangani isu tersebut. Apalagi selama desentralisasi fiskal, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) telah meningkat. Contoh 2013 TKDD itu Rp528 triliun, di 2021 Rp795 triliun. Kenaikan sangat besar namun belum termanfaatkan secara optimal," jelasnya.

Selain pemanfaatan DAU yang tak optimal, penggunaan dana alokasi khusus (DAK) dari pusat juga belum tepat sasaran karena tidak dijadikan sumber utama untuk belanja modal. Hal ini terjadi karena kemampuan daerah untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah (PAD) masih sangat minim.

Ia menyebut, porsi PAD masih di kisaran 24,7 persen dari APBD dalam tiga tahun terakhir. Selain itu, daerah terlalu mudah menghamburkan uang untuk program dan kegiatan yang terlalu banyak.

"Belanja daerah belum fokus dan efisien, di mana terdapat 29.623 jenis program dan 263.135 jenis kegiatan. Serta pola eksekusi APBD yang masih business as usual, selalu tertumpu di kuartal IV sehingga mendorong adanya idle cash di daerah," pungkasnya.

Empat Pilar UU HKPD

Karena itu lah dalam RUU HKPD yang baru saja disahkan jadi Undang-Undang, pemerintah melakukan perbaikan melalui empat pilar utama.

Pertama, mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah dengan meminimalkan ketimpangan baik vertikal maupun horizontal. "Ketimpangan vertikal adalah ketimpangan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota, sementara horizontal ketimpangan antara pemerintah daerah pada level sama. Dan kita berusaha menciptakan TKDD berorientasi kinerja," jelasnya.

Pilar kedua adalah mengembangkan sistem pajak daerah untuk mendukung alokasi sumber daya yang efisien. Ketiga, mendorong kualitas belanja daerah, dan keempat melakukan harmonisasi belanja antara pemerintah pusat dan daerah.

Melalui UU tersebut, sejumlah daerah juga dapat menikmati tambahan dana transfer dari pemerintah pusat seperti dana bagi hasil (DBH). "Kami melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi kepala daerah. Misalnya sekarang DBH dari sumber daya alam biasanya untuk daerah penghasil dan daerah tetangga dalam provinsi yang sama sekarang kami berikan ke daerah yang berbatasan meskipun provinsi berbeda," tuturnya.

Kemudian DBH juga diberikan berdasarkan realisasi tahun sebelumnya, dan porsi DBH cukai hasil tembakau (CHT) pun dinaikkan dari 2 persen menjadi 3 persen. "Begitu juga DBH dari PBB 100 persen semua untuk daerah. Kemudian opsi lain juga dibuka seperti DBH berbasis perkebunan kelapa sawit," imbuh Sri Mulyani.

Dengan berbagai perubahan ini daerah berpotensi mendapatkan tambahan alokasi DBH sebesar 2,74 persen atau Rp2,97 triliun. "Sehingga anggaran yang ditransfer naik dari Rp108,2 triliun menjadi 111,17 triliun untuk 2021," tandasnya.