NEWS

Penerimaan Pajak Melambat di Agustus 2022

Secara kumulatif, kinerja pajak Januari-Agustus masih baik.

Penerimaan Pajak Melambat di Agustus 2022Menkeu Sri Mulyani menyampaikan penjelasan pemerintah dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.
27 September 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Penerimaan pajak pada Agustus 2022 mengalami perlambatan hampir di seluruh jenis dibandingkan capaian bulan sebelumnya. Kementerian Keuangan mencatat, pajak penghasilan (PPh) 21 hanya tumbuh 28,2 persen (year on year/yoy), lebih rendah Juli 2022 yang mencapai 29,4 persen (yoy). Demikian pula PPh impor yang hanya tumbuh 35,7 persen (yoy) atau lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik sebesar 53,7 persen (yoy). 

Lalu, pertumbuhan PPh Badan melambat menjadi 121,7 persen (yoy) dari 121,9 persen (yoy) pada Juli, dan PPN Dalam Negeri melambat menjadi 24,8 persen (yoy) dari sebelumnya 70,6 persen (yoy). Begitu pun dengan PPN Final yang hanya tumbuh 3 persen (yoy), jauh di bawah Juli yang sebesar 48,4 persen (yoy).

Untuk PPh orang pribadi (OP), kondisinya bahkan berbalik atau mengalami kontraksi sebesar 6,6 persen (yoy). Padahal, di bulan Juli 2022, pertumbuhan PPh OP mencapai 31,9 persen (yoy).

Hanya PPh 26 dan PPh Impor yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. PPh 26 tumbuh 113,9 persen (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan Juli yang sebesar 51,9 persen (yoy), sementara PPh Impor tumbuh 63,9 persen (yoy) atau di atas pertumbuhan Juli yang sebesar 56,8 persen (yoy).

Meski demikian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, secara kumulatif penerimaan pajak sejak Januari hingga Agustus masih lebih baik ketimbang periode sama tahun lalu.

Ini, salah satunya, disebabkan oleh berkurangnya berbagai insentif pajak yang diberikan pemerintah untuk mendorong pemulihan ekonomi pasca Covid-19 tahun lalu. "Tahun ini karena dunia usaha mulai normal banyak insentif dihentikan sehingga ini memulihkan penerimaan pajak kita," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (27/9).

Selain itu, kata dia, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang memberikan kemampuan pemerintah untuk mengumpulkan penerimaan lebih baik juga telah diimplementasikan.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa pemerintah tetap berhati-hati karena kondisi ekonomi global masih penuh dengan ketidakpastian. "Dan berbagai indikator perlu kita waspadai karena tren penerimaan pajak yang begitu tinggi harus kita lihat sustainabilitynya," jelasnya.

Kinerja pajak masih baik secara kumulatif

Secara rinci, Bendahara Negara memaparkan kinerja penerimaan pajak secara kumulatif (Januari-Agustus) berdasarkan jenisnya. PPh 21, misalnya, tumbuh 21,4 persen atau lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang growth-nya hanya 2,3 persen.

"PPh ini adalah pajak karyawan dan pekerja. Ini artinya, meningkatnya pekerja yang bekerja terutama di sektor formal telah terlihat dari pajak yang dibayarkan perusahaan untuk karyawannya. Ini adalah hal positif dari pemulihan ekonomi kita," tuturnya.

Kemudian, PPh 22 impor melonjak 149 persen karena aktivitas ekonomi yang mulai mengalami kenaikan. "Dan terlihat pada sisi bea dan cukai. Ini sejalan dengan growth dari impor kita sangat tinggi dalam proses pemulihan ekonomi," tuturnya.

Untuk PPh orang pribadi, kinerjanya meningkat 11,2 persen dibandingkan tahun lalu yang mengalami kontraksi 2,1 persen. Menurutnya, ini  tak lepas dari faktor pergeseran pelaporan pembayaran SPT Orang Pribadi secara tahunan.

Lalu, PPh Badan yang kontribusinya sangat besar dalam penerimaan pajak, mengalami kenaikan 131,5 persen dibandingkan dengan tahun lalu yang terkontraksi 2,8 persen.

"Ini menggambarkan sektor-sektor korporasi mengalami pembalikan dan pemulihan kondisi perusahaannya dan ini terkonfirmasi dengan PPh 21 yang juga positif. Artinya mereka mulai melakukan hiring atau pembukaan lowongan kerja lagi. Ini hal yang positif dari pemulihan ekonomi kita," tuturnya.

Ada pula PPh 26 yang tumbuh positif karena pembayaran dividen, bunga dan royalti ke luar negeri yang dalam hal ini juga berhubungan dengan kinerja korporasi. "PPh final kita juga mengalami kenaikan karena normalisasi dampak penurunan tarif PPh, bunga obligasi, dan juga pengalihan saham 2021 yang tidak mengalami pengulangan," jelas Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.

Untuk PPN dalam negeri, yang menggambarkan kegiatan ekonomi domestik, tumbuh 41,2 persen atau dalam hal ini naik tajam dibandingkan tahun lalu yang tumbuh 12,6 persen. "Kontribusi PPN DN 21,4 persen dari total penerimaan pajak kita, yang menggambarkan kegiatan dari perekonomian kita sudah mulai membaik. Sedangkan PPN impor yang kontribusinya 14,9 persen juga tumbuh 48,9 persen, tandasnya.

Related Topics