NEWS

Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai Target, Indef: Blunder Pemerintah

Penyaluran kredit bank turun, penempatan dana di SBN naik.

Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai Target, Indef: Blunder PemerintahGedung BSI/ Dok BSI
08 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Wakil Direktur Institute for Development and Economics Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu meleset dari target kerap disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri.

Pada 2021, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 3,6 persen, di bawah target 5 persen yang ditetapkan pemerintah. Hal tersebut, menurut Eko, salah satunya, lantaran keputusan pemerintah melepas surat berharga negara (SBN) dalam jumlah besar ke pasar.

Di sisi lain, imbal hasil atau yield SBN juga lebih besar ketimbang surat utang yang dilepas perusahaan termasuk perbankan. Sehingga, terjadi crowding out effect dan perbankan lebih memilih untuk menempatkan dananya di instrumen SBN.

"Kalau sama-sama mencari dana di pasar, bunga pemerintah terlalu besar,otomatis pemerintah jadi kompetitor dari banknya sendiri. Dan dilanjutkan dengan situasi dimana daripada bank lebih baik jadi pembeli. Kalau yang beli SBN justru bank dan semakin besar jumlahnya,  implikasinya enggak ada kredit yang mengalir ke sektor riil," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (8/2).

Padahal, lanjut Eko, ekonomi Indonesia yang digerakkan oleh produk domestik bruto di sektor riil justru bisa tumbuh ketika aktivitas investasi berlangsung. Dengan minimnya penyaluran kredit dari bank, banyak perusahaan menahan rencana ekspansi bisnis dan perputaran ekonomi menjadi lebih lambat.

"Jadi, bagi saya yang bikin blunder pemerintah sendiri dengan terus-menerus menjual SBN yang pembeli utamanya bank dan Bank Indonesia sebagai pembeli terakhir jika pasar lelang tidak berminat," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, peneliti center of Macroeconomics and Finance Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan rendahnya penyaluran kredit perbankan tak lepas dari kondisi pandemi COVID-19 yang membuat risiko kredit macet (non performing loan/NPL) meningkat. 

"Dari sisi internal kita melihat bagaimana bank berupaya mengurangi lonjakan NPL sehingga bank lebih selektif dalam memenuhi atau menerima pengajuan kredit pembiayaan khususnya sektor yang sensitif terhadap perubahan pandemi," katanya.

Di sisi lain, suku bunga yang rendah juga membuat mereka kesulitan untuk menjaring dana. Karena itu, ada lonjakan penempatan dana bank ke SBN sebagai upaya mempertahankan bunga.

Kontraksi sektor jasa keuangan

Berdasarkan data yang ia olah dari Bank Indonesia, penyaluran dana bank umum ke kredit yang hanya 57 persen pada Oktober 2021, turun dari 68 persen pada 2019. Sementara penempatan dana di SBN meningkat dari 12 persen menjadi 18 persen.

"Ada lonjakan penempatan dana bank ke SBN sebagai upaya mempertahankan penghasilan bunga. Jadi saat bank mengurangi porsi penyaluran kredit, dia tempatkan dananya di SBN dan bank sangat menikmati pendapatan SBN tersebut," katanya.

Lantaran itu, kata dia, wajar jika sepanjang 2021 hanya PDB sektor jasa keuangan yang mengalami kontraksi. Badan Pusat Statistik mencatat kinerja lapangan usaha tersebut terhadap PDB nasional terkontraksi hingga 2,59 persen. Padahal kontribusinya terhadap struktur PDB cukup besar, yakni 4,12 persen. "Jadi di PDB menang terlihat penurunan pertumbuhan sektor jasa keuangan," ujarnya.

Related Topics