NEWS

Peserta Tax Amnesty Jilid II Tetap Bisa Dipidana, Simak Ketentuannya

Ketentuan terkait pidana diatur Pasal 22 PMK 196/2021.

Peserta Tax Amnesty Jilid II Tetap Bisa Dipidana, Simak KetentuannyaShutterstock/Haryanta.p
29 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah tetap bisa menjerat peserta program pengungkapan sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II dengan pasal pidana. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Dalam ayat (1) pasal tersebut, memang dinyatakan bahwa data dan informasi yang bersumber dari SSPH (Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta) dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain, tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

Namun ayat (2) pasal tersebut berbunyi:

"Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dimiliki dan digunakan oleh otoritas yang berwenang untuk melakukan penanganan tindak pidana, termasuk tindak pidana yang bersifat transnasional organized crime meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, perdagangan manusia, dan/atau pencucian uang, otoritas yang berwenang dimaksud tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Padahal, dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), peserta PPS dilindungi dari tuntutan tindak pidana pajak. Aturan itu tercantum di pasal 6 ayat (6) UU HPP yang bunyinya sama dengan pasal 22 ayat (1) PMK 196/2021.

Kendati demikian, di bagian penjelasan ayat (6) UU tersebut, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana adalah "tindak pidana perpajakan dan tindak pidana lain".

Masalahnya, klausul "tindak pidana lain" dalam pasal penjelas tersebut tak disebutkan secara spesifik. Tak ada pula batasan atau pengecualian yang dapat dijadikan dasar otoritas berwenang untuk melakukan pengusutan pidana.

Namun jika mengacu pada Pasal 22 ayat (2) di peraturan menteri keuangan, tindak pidana yang dimaksud adalah yang bersifat transnasional organized crime meliputi narkotika, psikotropika, dan obat terlarang, terorisme, perdagangan manusia, dan/atau pencucian uang.

Perlindungan Data dan Tuntutan Pidana

Fortune Indonesia mencoba mengkonfirmasi ihwal ketentuan Pasal 22 ayat (2) PMK 196/2021 tersebut ke Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Perpajakan Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor. Namun belum ada jawaban atas pertanyaan yang diajukan hingga tulisan ini dibuat.

Meski demikian, dalam keterangan resminya Senin (27/12), Neilmaldrin mengatakan bahwa bebas dari sanksi administratif dan perlindungan data bahwa data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/ataup enuntutan pidana terhadap wajib pajak adalah manfaat dari program pengungkapan sukarela.

"PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis (AEoI) dan data ILAP yang dimiliki DJP,” ungkap Neilmaldrin.

Sekedar informasi, PPS sendiri merupakan kesempatan yang diberikan Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh (Pajak Penghasilan) berdasarkan pengungkapan harta.

Related Topics