NEWS

Proyek Efisiensi Energi di Indonesia Dinilai Belum Menarik Investor

Indonesia punya potensi besar jadi pasar efisiensi energi.

Proyek Efisiensi Energi di Indonesia Dinilai Belum Menarik InvestorSumber energi bumi. (ShutterStock/PopTika)
19 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Laporan Climate Policy Initiative (CPI) bersama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang merupakan special mission vehicle Kementerian Keuangan, menunjukkan bahwa proyek-proyek efisiensi energi di Indonesia belum menarik di mata pengusaha dan investor. 

Padahal, potensi bisnis tersebut cukup besar mengingat belum efisiennya penggunaan stok energi di Indonesia. Di sisi lain, efisiensi energi mampu menawarkan keuntungan yang jelas bagi tujuan pengurangan emisi dan ketahanan energi hingga pemulihan ekonomi negara melalui penciptaan lapangan kerja.

"Laporan menemukan bahwa terdapat beberapa faktor penghambat utama dalam pengembangan efisiensi energi di Indonesia. Adapun salah satu faktor tersebut adalah kurang menariknya proyek-proyek efisiensi energi di mata pebisnis dan investor," tulis laporan bertajuk “Exploring Viable Energy Efficiency Business Models in Indonesia” tersebut, dikutip Jumat (19/11).

CPI dan PT SMI juga mengidentifikasi sejumlah hambatan yang harus dihadapi oleh perusahaan jasa energi atau Energy Service Companies (ESCOs) di pasar efisiensi energi nasional. Salah satunya terkait belum memadainya pengetahuan petugas pinjaman dan manajer risiko di lembaga keuangan Indonesia tentang teknologi serta model bisnis efisiensi energi. Hal ini menimbulkan risiko tinggi pada aspek pembiayaan. 

Situasi ini juga diperparah oleh terbatasnya akses pebisnis dan investor terhadap benchmark konsumsi energi di lingkup gedung dan industri, juga informasi mengenai pengukuran dampak proyek-proyek efisiensi energi yang mengakibatkan ketidakpastian dalam perhitungan risiko dan hasil investasi.

Hasil laporan studi pun mengungkap bahwa ESCOs masih kesulitan untuk menjembatani kesenjangan antara klien dan investor akibat adanya potensi risiko yang terlihat. Potensi risiko ini disebabkan oleh kurangnya performa dari upaya penghematan energi, sehingga menyebabkan gagal bayar serta mengurangi kepercayaan klien dan investor terhadap proyek-proyek penghematan energi. 

Lebih lanjut, hasil laporan studi juga menemukan bahwa potensi risiko keuangan yang dirasakan oleh klien dan investor telah terbukti sebagai salah satu rintangan terbesar dalam mengembangkan proyek efisiensi energi di Indonesia.

Hambatan utama lainnya yang tercatat dalam laporan adalah kegagalan dari dua model bisnis efisiensi energi tradisional yang ditawarkan oleh ESCOs, yaitu model penghematan bersama dan model penghematan terjamin. Kedua model ini disebut belum mampu mengatasi tantangan bisnis efisiensi energi di Indonesia.

"Model bisnis haruslah ditingkatkan untuk dapat mempercepat pengembangan efisiensi energi. Sayangnya, model bisnis yang sudah ada saat ini masih gagal untuk dapat mengatasi tantangan pasar. Misalnya, model penghematan bersama yang direkomendasikan untuk klien kecil. Model ini belum berhasil diimplementasikan mengingat situasi ESCOs yang masih tergolong kecil di Indonesia, sehingga sulit untuk memperoleh pendanaan dari bank," jelas Muhammad Zeki, Analis CPI sekaligus bagian dari tim penyusun laporan.

Di sisi lain, model penghematan terjamin justru menempatkan klien atau pemilik fasilitas pada posisi yang berisiko karena mereka harus menanggung risiko utang dari bank. Hal ini juga ditambah dengan kurangnya kepercayaan terhadap kapasitas dan kapabilitas ESCOs. 

 “Selanjutnya, perjanjian kontrak yang umumnya digunakan di lingkup bisnis efisiensi energi di Indonesia masih belum membahas.isu-isu utama tertentu. Dalam studi CPI, kami pun telah menemukan cara untuk mengelola risiko utama dalam model bisnis efisiensi energi yang sudah ada, seperti cara menanggulangi perhitungan project return yang tidak jelas serta biaya investasi terhadap proyek yang terkesan tinggi,” tambahnya.

Rekomendasi CPI

Melihat situasi yang ada, CPI pun menyarankan perbaikan terhadap model bisnis yang mampu mempercepat pengembangan efisiensi energi di Indonesia. CPI memberikan rekomendasi berupa tiga model bisnis yang merupakan hasil penyesuaian dari model sebelumnya. Tiga model itu di antaranya model bisnis jasa atau perangkat; model bisnis sewa dan beli; serta model bisnis layanan energi berkualitas. 

Menurut CPI, model bisnis yang telah disesuaikan ini dapat mengatasi potensi risiko terkait pendanaan dan sumbernya, serta mampu diimplementasikan dan ditingkatkan di Indonesia. Meski demikian, keberhasilan dari model bisnis yang direkomendasikan CPI ini akan tetap memerlukan dukungan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tiza Mafira, Associate Director CPI menegaskan bahwa perbaikan model bisnis dan perjanjian kontrak dapat memberikan sejumlah keuntungan dalam mengelola tantangan di sektor bisnis efisiensi energi. Namun, model ini tidak dapat mengatasi risiko yang berkaitan dengan regulasi. 

"Sehubungan dengan hal tersebut, kami percaya bahwa Indonesia masih membutuhkan regulasi yang stabil dan andal untuk bisa terus tumbuh serta mendukung sektor bisnis efisiensi energi tanah air,” jelasnya.

Kajian ini juga menyorot isu-isu penting lainnya yang penting untuk ditangani dan dianalisis lebih lanjut, dalam rangka mengakselerasi bisnis efisiensi energi di Indonesia, seperti pengurangan bunga pinjaman bank; implementasi langkah-langkah berupa insentif atau disentif; dan perluasan pasar melalui penegakan efisiensi energi secara wajib atau mekanisme berbasis pasar (seperti perdagangan kredit penghematan energi).

Related Topics