NEWS

Skema Perdagangan dan Pajak Karbon Diterapkan di PLTU Mulai April 2022

Besaran cap emisi PLTU tunggu Peraturan Menteri ESDM.

Skema Perdagangan dan Pajak Karbon Diterapkan di PLTU Mulai April 2022ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi
18 January 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan pemerintah bakal memulai perdagangan karbon dengan skema cap, trade and tax untuk PLTU berkapasitas di atas 100 MW pada April 2022. Dalam tiga bulan ke depan, pemerintah bakal menetapkan batas atas emisi (BAE) gas rumah kaca untuk pembangkit listrik batu bara tersebut lewat Peraturan Menteri ESDM.

"Bentuknya Peraturan Menteri (Permen). Kemarin kan rencananya keputusan menteri (Kepmen). Tetapi karena sifatnya mengatur orang disarankan dari awalnya kepmen menjadi Permen," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (18/1).

Nantinya PLTU yang emisi tahunannya melebihi batas atas yang ditetapkan akan dikenakan pajak sebesar US$2 per ton. Jika tak ingin terkena pajak, mereka perlu melakukan offset dengan membeli kredit karbon dari pihak lain yang emisinya di bawah ambang batas (surplus).

Cara lain yang bisa juga dilakukan untuk offset karbon adalah dengan membuat pembangkit energi baru terbarukan  atau menjalankan proyek penyerapan karbon baik berupa restorasi hutan, gambut atau mangrove.

"Sekarang dia punya hak emisi. Kalau emisinya di atas cap-nya, sebelum mereka membeli dari yang surplus emisinya, mereka bisa melakukan offset di antaranya dengan melakukan co-firing PLTU atau membangun pembangkit lainnya. Atau mereka kemudian merestorasi mangrove atau apapun yang ada di sektor lain sehingga kemudian mereka intinya emisinya berkurang," jelas Rida.

Tak Berpengaruh ke BPP

Sebelumnya, pemerintah telah melakukan uji coba skema pajak karbon di sejumlah PLTU yang beroperasi. Dengan adanya Perpres tentang Nilai Ekonomi Karbon, skema itu dikombinasikan menjadi cap, trade and tax.

Berdasarkan uji coba tersebut, pemerintah memutuskan skema perdagangan dan pajak karbon dilakukan secara bertahap berdasarkan kapasitas pembangkitnya. Misalnya, PLTU dengan kapasitas di atas 400 MW ditetapkan cap sebesar 0,918 ton per megawatt hour (MWh). 

PLTU dengan kapasitas 100–400 MW dikenakan nilai batasan emisi 1,013 ton CO2 per MWh. Terakhir, PLTU Mulut Tambang 100–400 MW dengan nilai cap mencapai 1,94 ton CO2 per MWh.

Selain itu, ada pula kemungkinan perluasan kelompok untuk PLTU berkapasitas di bawah 100 MW serta 400 MW hingga 1.000 MW. "Jadi untuk kapasitas PLTU 100 MW ke bawah, apa yang akan kita kerjakan adalah jangan kemudian isu lain mengurangi pelayanan kita terhadap penyediaan listrik. Jangan sampai karena emisi besar jadi ditutup, gelap gulita," terang Rida.

Meski demikian, ia memastikan skema perdagangan dan pajak karbon untuk PLTU berkapasitas di bawah 100 MW tersebut bakal dilakukan mulai 2023. Ini juga mempertimbangkan produksi emisi yang tak terlalu signifikan pada pembangkit berskala kecil tersebut.

"Itu kan kurang lebih hanya 3 persen dari sisi kapasitasnya. Tetapi fungsinya adalah backbone atau tulang punggung. Kalau ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada jangan sampai lah seperti itu apalagi ini pembangkit yang ada di wilayah terluar tertinggal terdalam. Data emisinya juga ini kurang lebih 6,3 persen atau di bawah 10 persen jadi masih ada toleransi untuk ini," jelasnya.

Rida juga memastikan skema perdagangan dan pajak karbon tak akan berpengaruh besar terhadap kenaikan harga listrik. Pasalnya, dampak penerapan skema tersebut terhadap biaya pokok pembangkitan (BPP) masih minim.

"Kalau carbon tax-nya US$2 per ton CO2e, itu BPP-nya terdorong sedikit angkanya hanya Rp0,50 per kWh. Sekarang kita BPP-nya sekitar Rp1.400 per kWh jadi kecil lah pengaruhnya ke BPP. Makanya kemudian ini kita jalan kan dulu," tandasnya.

Related Topics