NEWS

Sri Mulyani Beberkan Dua Tantangan Terbesar di Industri Hulu Migas

Industri migas hadapi perubahan iklim dan kenaikan konsumsi.

Sri Mulyani Beberkan Dua Tantangan Terbesar di Industri Hulu MigasDok. Pertamina
01 December 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan dua tantangan besar yang dihadapi sektor minyak dan gas (migas) kedepan. Pertama, meningkatnya konsumsi domestik yang tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri. Kedua, dorongan global untuk memitigasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi dan penggunaan bahan bakar fosil.

"Bagaimana Indonesia dapat membangun dan memelihara energi secara berkelanjutan di sisi lain Indonesia memenuhi dan berpartisipasi dalam upaya kolektif global untuk menghindari bencana perubahan iklim akan menjadi tantangan ke depan," ujarnya dalam The 2nd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2021, Selasa (30/11).

Menurut Sri Mulyani, peningkatan konsumsi yang tak sejalan dengan produksi itu terlihat dari penurunan lifting (produksi siap jual) migas dalam satu dekade terakhir. Ia menyebut, misalnya, lifting migas 2020 hanya mencapai 707 ribu barel per hari (bph). "Kita juga melihat produksi gas turun menjadi 983 ribu BOEPD," tuturnya.

Jika masalah ini tak segara diatasi, neraca perdagangan berpotensi mengalami defisit dan mengganggu stabilitas perekonomian. "Hal ini memberi kelemahan bagi perekonomian jika ingin tumbuh secara stabil dan berkelanjutan. Jadi, migas menciptakan situasi yang menantang," ujarnya.

Di sisi lain, Indonesia juga memiliki target untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 pada 2030. Sektor energi, termasuk hulu migas, menjadi sasaran utama karena kontribusinya terhadap produksi carbondioksida cukup besar.

"Banyak diskusi terkait bagaimana Indonesia dan dunia dapat bertransformasi ke jalur net zero emission menjadi sangat penting dan pastinya akan berpengaruh pada industri migas," terangnya.

Momentum Transisi

Meski demikian, Sri Mulyani melanjutkan, kondisi produksi migas yang terus turun dianggap sebagai momentum tepat untuk melakukan transisi menuju energi baru terbarukan.

Dalam konteks ini Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian ESDM membentuk gugus tugas yang membahas mekanisme transisi energi tidak hanya terkait dengan batubara tetapi bahan bakar fosil lainnya seperti minyak dan gas.

“Komitmen untuk mencegah perubahan iklim dengan mencegah peningkatan suhu dunia juga berdampak langsung pada industri minyak dan gas bumi. Sebagai pengimpor CO2 terbesar di dunia, Indonesia dapat mengubah jalurnya ke nol emisi,” ucap Sri Mulyani.

Masalahnya, biaya untuk berpindah ke energi bersih tidak murah. Kementerian Keuangan menaksir, anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp3.500 triliun. Untuk itu, pemerintah mendorong peran lebih besar sektor swasta khususnya di industri hulu migas untuk berinvestasi dalam upaya mereduksi emisi karbon.

Misalnya, dengan penerapan teknologi carbon capture utilization and storage (CCUS). Meski demikian, ia juga mengakui bahwa saat ini teknologi tersebut masih tergolong mahal karena belum jamak diproduksi.

"Kami berharap melalui konferensi ini kita akan mendapatkan pandangan dari semua pemangku kepentingan terutama industri hulu bagaimana Indonesia dengan potensi minyak dan gas yang masih tersedia perlu dioptimalkan, tetapi di sisi lain bagaimana kita akan dapat merancang mekanisme yang kredibel dan transisi berkelanjutan ke energi yang lebih terbarukan," jelasnya.

Related Topics