NEWS

Sri Mulyani Pamerkan Efektivitas Utang RI Dibanding AS hingga Cina

Tiap US$1 utang pemerintah hasilkan kenaikan PDB US$1,34.

Sri Mulyani Pamerkan Efektivitas Utang RI Dibanding AS hingga CinaMenteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat rapat dengan Komisi IX di DPR. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
31 May 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan penggunaan utang sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi (PDB) di Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan, efektifitasnya lebih tinggi dari negara besar seperti Amerika Serikat, Cina dan India. Ini terlihat dari rasio penambahan PDB yang dihasilkan dari penambahan utang sepanjang 2018–2022. 

Dalam paparannya di Badan Anggaran DPR RI (30/5), Sri Mulyani mengatakan bahwa dalam periode tersebut penambahan utang pemerintah mencapai US$206,5 miliar berkorelasi terhadap penambahan PDB sebanyak US$276,1 miliar. Itu artinya, tiap US$1 utang yang ditarik pemerintah dapat menghasilkan kenaikan nominal PDB US$1,34.

Pada kurun yang sama, penambahan utang pemerintah Vietnam mencapai US$18,2 miliar menghasilkan kenaikan PDB hingga US$102 miliar. Artinya, tambahan PDB dari tiap US$1 penambahan utang mencapai US$5,61—meskipun pertumbuhan ekonomi negara tersebut juga terbantu oleh tumbuhnya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) perusahaan-perusahaan yang bermigrasi dari Cina.

"Selain Indonesia, negara lain yang juga cukup efektif menstimulasi pertumbuhan ekonomi dengan utang adalah Vietnam," ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, Indonesia dan Vietnam adalah dua negara yang cukup luar biasa karena kenaikan utang pemerintahnya menyebabkan kenaikan PDB lebih besar.

Ia juga membandingkan efektivitas penggunaan utang terhadap kenaikan PDB tersebut dengan negara lain seperti  India, Malaysia, Cina, Filipina, Amerika Serikat, hingga Thailand.

"Kita bandingkan beberapa emerging country yang comparable dengan kita dan bahkan advanced country. India, kenaikan government debt-nya US$932,4 miliar hampir US$1 triliun, sementara kenaikan nominal GDP-nya hanya US$683,5 miliar. Artinya untuk India US$1 utangnya hanya menghasilkan US$0,73 dari nominal GDP-nya," ujarnya.

Kemudian, kenaikan kenaikan utang pemerintah Malaysia sebesar US$69,5 miliar hanya berdampak pada kenaikan nominal PDB US$48,9 miliar. "Untuk Malaysia, berarti setiap dolar menghasilkan US$0,7 sen kenaikan nominal GDP," katanya.

Demikian pula dengan Cina yang utang pemerintahnya mencapai US$6.11 triliun, tetapi penambahan PDB hanya US$4,25 triliun. Artinya, kenaikan US$1 utang negeri tersebut hanya menambah nominal PDB US$0,70.

Kemudian, di negeri jiran Filipina, kenaikan utang pemerintah US$103,6 miliar hanya membuat nominal PDB naik US$57,4 miliar. Dus, US$1 dari utang pemerintah Filipina hanya menghasilkan US$0,55 sen nominal PDB.

"Amerika juga sama. US$8,9 triliun utangnya, tapi GDP-nya hanya naik US$4.931 miliar. Jadi, setiap US$1 utang AS menghasilkan kenaikan GDP nominal US$0,55. Thailand, lebih kecil lagi kenaikannya. Dengan US$1, yaitu kenaikannya US$86,1 miliar maka kenaikan nominal GDP-nya hanya 29,6, atau 0,34 sen," ujarnya.

Tidak boleh bergantung pada utang

Menurut Sri Mulyani, utang merupakan salah satu alat pendorong perekonomian yang digunakan dalam kebijakan fiskal. 

"Semua negara menggunakan defisit. Itu artinya menggunakan utang di dalam menahan shock. Namun, efektivitas dalam penggunaan fiskal, termasuk utang, kita lihat di sini: Indonesia dan Vietnam pertumbuhan goverment debt-nya dibandingkan dengan kenaikan GDP nominal. Tentu antara lain karena kita mampu mendorong melalui fiskal defisit tadi," ujarnya.

Kenaikan PDB tidak seharusnya bergantung pada, atau didukung oleh, utang. Sebab, dalam hal tersebut pasti tidak akan "sustainable" bagi perekonomian, katanya. Namun, data tersebut menunjukkan bahwa meski dihadapkan pada kondisi sulit, penggunaan utang Indonesia masih dalam posisi yang relatif baik.

"Yaitu US$1 menghasilkan 1,34 di dalam situasi di mana terjadi shock luar biasa seperti pandemi, di mana hampir semua perekonomian mengalam kolaps," katanya.

Related Topics