NEWS

Stafsus Sri Mulyani Jelaskan Penyebab Pasar Karbon di Indonesia Lambat

Pemerintah kejar aturan turunan UU Nilai Ekonomi Karbon.

Stafsus Sri Mulyani Jelaskan Penyebab Pasar Karbon di Indonesia LambatIlustrasi Pajak Karbon. (ShutterStock/Elnur)
17 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Staf Khusus Menteri Keuangan, Masyita Crystallin, menjelaskan penyebab lambatnya implementasi perdagangan karbon di Indonesia. Menurutnya, pembentukan pasar karbon perlu dipersiapkan dengan matang karena berkaitan erat dengan praktik arbitrase.

Jika tak hati-hati, Indonesia justru bisa rugi karena dapat harga rendah. Padahal, sebagai salah satu pemasok kredit karbon terbesar di dunia, Indonesia dapat beroleh skema menguntungkan dari perdagangan karbon dalam mitigasi perubahan iklim.

Ia mengambil contoh kasus Uni Eropa yang harga karbonnya sempat jatuh di masa awal implementasi pasar wajib (mandatory market). "Sudah heboh bangun pasar karbon terus harga jatuh. Jadi memang kita dalam pasar karbon harus menjaga demand dan suplai," ujarnya dalam Forum Bisnis: Net Zero Emissions, Kamis (17/3).

Selain itu, Indonesia juga perlu menjaga stok karbon untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi dalam negeri. Sebab, ketiadaan regulasi soal nilai ekonomi karbon dan penyelenggaraan pasar wajib membuat permintaan karbon dari perusahaan dalam negeri juga rendah.

"Kalau enggak ada demand terus kita keluarkan suplai, harga kita sudah jatuh. Kemudian karena harga murah, (karbon) kita terlanjur dibeli orang di luar negeri. Habis suplai karbon murah. Saat kita punya compliance, market udah mahal," tuturnya. "Saya tahu ada kekhawatiran di luar kenapa Indonesia tidak cukup progresif. Tapi, memang kalau kita tidak tahan suplai, ada staging yang tepat kita 'rugi'. Kita dapat bukan market price," ujarnya.

Tunggu aturan turunan

Pada November 2021, pemerintah, melalui Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, mengatur skema perdagangan karbon sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim. Beleid tersebut juga menjadi pintu masuk bagi penerapan pasar karbon wajib di dalam negeri. Sebab, emisi tahunan yang dihasilkan dari kegiatan masyarakat atau dunia usaha akan sesuai dengan peta jalan pencapaian NDC.

Jika emisi yang dihasilkan melebihi batas, para pihak tersebut wajib membeli kredit karbon atau melakukan offsetting untuk “menyerap” kelebihan GRK yang mereka lepas. Artinya, permintaan kredit karbon akan meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Maysita mengatakan saat ini pemerintah tengah berupaya mengejar pembentukan aturan turunan Undang-Undang tersebut. Pasalnya, perdagangan karbon mulai bulan depan sudah dimulai berbarengan dengan implementasi pajak karbon di proyek PLTU.

Setelahnya, diharapkan proyek lain dapat dimomentisasi dan dimasukkan dalam mekanisme transisi energi dan penurunan emisi karbon.

"Kami lagi mengejar seluruh permennya selesai baik dari Kementerian ESDM, Kementerian LHK maupun Kementerian Keuangan sendiri. Untuk membuat pasar karbon ini, kita sudah punya pilot projects di anak usaha PLN tapi harganya masih cukup rendah US$2 per ton CO2e. Tapi, itu enggak jeleklah untuk pertama," katanya.

Related Topics