NEWS

Tren PLTU Batu Bara Global Turun 13%, Indonesia Malah Naik 9%

Upaya pemangkasan konsumsi batu bara melambat pada 2021.

Tren PLTU Batu Bara Global Turun 13%, Indonesia Malah Naik 9%Ilustrasi PLTU. (Pixabay/Benita Welter)
28 April 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Laporan tahunan Boom and Bust kedelapan yang dirilis Global Energy Monitor menemukan tren penurunan kapasitas PLTU batu bara terus berlanjut. Sepanjang tahun lalu, kapasitas PLTU batu bara tercatat berkurang dari 535 gigawatt (GW) menjadi 457 GW atau sebesar 13 persen. 

Tren tersebut juga berlanjut ke tahun ini di mana sejumlah negara menghentikan rencana membangun PLTU. Hingga Januari 2022, misalnya, tercatat 7 negara melakukan pembatalan, sehingga jumlahnya berkurang dari 41 negara menjadi 34 negara saat ini.

"Cina, Korea Selatan, dan Jepang telah berjanji untuk menghentikan pembiayaan PLTU baru di luar negeri. Namun, China masih berada di urutan teratas dalam pembangunan PLTU batu bara baru secara domestik, dengan kapasitas batu bara melebihi angka global," tulis laporan tersebut, dikutip Kamis (28/7).

Kendati demikian, pada 2021, PLTU batu bara yang beroperasi meningkat menjadi 18,2 GW karena tren pemensiunan PLTU batu bara melambat. Kapasitas PLTU batu bara dalam fase pra-konstruksi (pre-construction) tetap berada di angka 280 GW secara global atau setara dengan jumlah yang dimiliki Amerika Serikat dan Jepang.

Di sisi lain, temuan laporan ini juga menunjukan bahwa di Indonesia, kapasitas PLTU batu bara yang beroperasi meningkat 9 persen dari 36,6 GW menjadi 40,1 GW sepanjang tahun lalu. Jikalau dibandingkan dengan kondisi 2015, jumlah itu sudah meningkat 54 persen dari 26,1 GW. 

"Berdasarkan informasi yang tersedia, beberapa unit baru tampaknya sudah mulai beroperasi di tujuh pembangkit listrik batu bara—termasuk pembangkit listrik sangat besar yang khusus menyediakan listrik untuk Kawasan Industri Weda Bay, Kawasan Industri Konawe (Delong Nickel Tahap II), lokasi Delong Nickel Tahap III, dan Kawasan Industri Nanshan," sambung Global Energy Monitor.

Saat ini Indonesia memiliki 15,4 GW kapasitas PLTU batu bara dalam tahap konstruksi, jumlah yang melampaui semua negara lain, kecuali Tiongkok dan India. 

Laporan itu juga mengungkapkan, Indonesia memiliki 10,8 GW PLTU batu bara dalam tahap pra-konstruksi dan 11,2 GW rencana yang sudah ditangguhkan. Namun, baru enam unit dalam tahap pra-konstruksi, dengan total kapasitas sebesar 2 GW dan telah menerima izin untuk memulai konstruksi. 

“Pasca komitmen iklim terbaru dari China, Korea Selatan, dan Jepang kapasitas PLTU Batubara dalam pembangunan secara global relatif menurun. Angka ini tentu akan meningkat ketika China, Korea Selatan, Jepang—sebagai pendukung utama proyek PLTU di Indonesia—menarik diri dari proyek-proyek yang masih direncanakan untuk memenuhi target komitmen iklim mereka.” kata Andri Prasetiyo, peneliti Trend Asia. 

Desakan untuk kurangi batu bara

Sementara itu, laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bulan ini memastikan bahwa penurunan batu bara secara radikal harus terjadi pada dekade ini. 

Laporan IPCC tersebut menunjukan bahwa dunia sudah tidak memiliki anggaran karbon (carbon budget) untuk pembangunan PLTU batu bara baru dan penggunaan batu bara harus turun 75 persen pada tahun 2030 (dari level 2019) agar dapat menahan kenaikan suhu global dibawah 1,5 derajat Celcius sesuai dengan Perjanjian Paris. 

“Rencana pembangunan PLTU batu bara harus berhenti sekarang” kata Flora Champenois dari Global Energy Monitor, sembari mempertegas arahan dari laporan terbaru IPCC untuk memperjuangkan iklim. "Hentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan segera pensiunkan yang masih beroperasi di negara maju pada 2030, dan negara lain menyusul setelahnya.” 

Sementara itu, Lauri Myllyvirta, Lead Analyst dari Centre for Research on Energy and Clean Air menuturkan banyak negara berkembang yang sudah memangkas rencana mereka untuk membangun PLTU batu bara baru, dengan penurunan terbesar terjadi di India, Vietnam, Bangladesh, dan Mesir. 

"Negara maju telah mengumumkan rencana baru untuk penghentian batu bara dan pemensiunan PLTU. Sekarang, negara dengan target nol emisi yang belum memiliki target penghentian batu bara harus lebih serius." tuturnya.

Adapun Leo Roberts dari E3G menyampaikan bahwa dampak dari invasi Rusia ke Ukraina pada pasar energi global telah memperjelas situasi bahwa pembangunan PLTU batu bara baru adalah opsi yang mahal.

“Analisa menunjukkan bahwa banyak negara di dunia yang telah menyadari hal ini dan telah berpaling dari proyek PLTU batu bara baru, namun masih banyak yang belum mengikuti. Negara - negara ini masih mempertimbangkan proyek PLTU baru pada tahun 2022 dan secara terbuka menerima harga tinggi untuk konsumen, risiko aset terdampar, dan kerentanan energi untuk memperkuat ekonominya.” Ujar Leo.

Related Topics