NEWS

Meski Sudah Ada Obat COVID-19, Vaksinasi Tetap Perlu

Prinsipnya, vaksin berfungsi sebagai pencegahan untuk sakit.

Meski Sudah Ada Obat COVID-19, Vaksinasi Tetap PerluIlustrasi vaksin. (ShutterStock/Viacheslav Lopatin)
09 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Di tengah penanganan pandemi COVID-19, kabar baik terus berdatangan, terutama dari upaya penemuan obat (oral) penangkisnya. Hasil uji klinis menunjukkan bahwa sejumlah obat COVID-19 aman dan bermanfaat. Lalu, apakah penanganan dengan strategi vaksinasi tetap dibutuhkan?

Molnupiravir, misalya. Obat COVID-19 buatan Merck ini dalam uji klinisnya dinyatakan dapat mengurangi risiko kematian maupun perawatan di rumah sakit hingga 50 persen. Bahkan, pemerintah Inggris pada Jumat (5/11) menyetujui penggunaan obat tersebut, dan menjadi negara pertama di dunia yang akan memberikannya kepada masyarakat luas.

Pfizer turut mengembangkan obat COVID-19 dengan jenama Paxlovid. Mengutip BBC, pada Sabtu (6/11) mereka mengumumkan, berdasarkan hasil uji klinis, obat tersebut ampuh mengurangi risiko kematian maupun rawat inap bahkan hingga 89 persen.

Perkembangan sejumlah obat Covid-19 sedemikian itu menimbulkan pertanyaan: apakah vaksin COVID-19 tetap dibutuhkan? Prinsipnya, vaksin berfungsi mencegah seseorang jatuh sakit. Sedangkan, obat dibutuhkan dalam proses perawatan ketika sakit.  

Kekhawatiran terhadap hambatan vaksinasi

Menyusul penemuan obat tersebut, sejumlah ahli kesehatan pun khawatir terjadi hambatan dalam program vaksinasi. Sebab, masyarakat bisa jadi akan lebih memilih obat, alih-alih vaksin.

Kekhawatiran itu berbasis data. Survei dari Sekolah Kesehatan Masyarakat The City University of New York menunjukan bahwa tiap satu dari delapan orang mengatakan lebih suka diobati daripada divaksinasi. Survei ini dilakukan terhadap 3.000 warga Amerika Serikat (AS).

“(Satu dari delapan orang) itu angka yang tinggi,” kata Scott Ratzan, pakar komunikasi kesehatan yang memimpin penelitian, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (9/11).

Leana Wen, dokter UGD dan profesor kesehatan masyarakat di Universitas George Washington, mengatakan penemuan obat, khususnya dari Pfizer, adalah kabar yang luar biasa. Namun, menurutnya, penanganan dengan obat sejalan dengan upaya vaksinasi—dan tidak menggantikannya.

Vaksin COVID-19 juga turut mengurangi dampak dari penularan akibat virus corona bahkan dari varian Delta yang sangat menular sekalipun. Itu terlihat dari hasil studi pemerintah AS yang menyebut vaksin Pfizer/BioNTech tetap efektif mengurangi risiko rawat inap sebesar 86,8 persen.

Tantangan pada obat COVID-19

Salah satu alasan untuk tidak bergantung sepenuhnya pada obat COVID-19, menurut para ahli, ialah soal kemampuannya menghentikan replikasi virus pada tubuh. Sebab, obat tersebut umumnya harus diberikan dalam jangka waktu pendek. Belum lagi tantangan COVID-19 yang memiliki fase penularan berbeda-beda pada tiap individu.

Menurut pakar penyakit menular, Celine Gounder, pada fase pertama virus mungkin dengan cepat bereplikasi dalam tubuh. Namun, banyak efek terburuk dari COVID-19 justru terjadi pada fase kedua. Hal itu disebabkan respons imun yang lemah setelah terjadi replikasi virus.

"Begitu Anda mengalami sesak napas atau gejala lain yang akan membuat Anda dirawat di rumah sakit, Anda berada dalam fase kekebalan disfungsional saay antivirus benar-benar takkan memberikan banyak manfaat," kata Celine.

Peter Hotez, ahli vaksin dan virologi molekuler dan mikrobiologi di Baylor College of Medicine, mengamininya. Dia mengatakan proses transisi replikasi virus membuat perawatan cukup dini menjadi menantang. "Bagi sebagian orang, kejadiannya lebih awal; bagi sebagian orang, belakangan," kata Hotez.

Dia menambahkan, banyak orang merasa kondisinya sangat baik pada fase awal penyakit COVID-19. Bahkan, mungkin mereka tidak menyadari kadar oksigennya menurun. Padahal, penurunan itu salah satu tanda peradangan.

Related Topics