NEWS

Tren Great Resignation Cetak Rekor Baru

4,4 juta pekerja AS mengundurkan diri pada September 2021.

Tren Great Resignation Cetak Rekor BaruPiqsels

by Tanayastri Dini Isna KH

15 November 2021

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Tren mengundurkan diri besar-besaran (The Great Resignation) di Amerika Serikat (AS) tak juga membaik. Jumlah karyawan yang berhenti bekerja pada September 2021 justru mencatatkan rekor baru.

Mengutip Fortune, Senin (15/11), Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan 4,4 juta orang mengundurkan diri dari pekerjaannya pada periode tersebut, naik 3 persen ketimbang Agustus dan mencetak rekor tertinggi tahun ini.

Berdasarkan statistik lembaga itu, masifnya pengunduran diri di kalangan pekerja telah dimulai sejak penghujung 2020 dan terus berlangsung hingga 2021.

Dari kenaikan jumlah pengunduran diri dimaksud, sektor mana yang paling banyak kehilangan tenaga kerja? Ulasan dalam artikel ini akan menjawab pertanyaan tersebut.

Industri Ritel dan Makanan Paling Banyak Berkorban

Tingkat kehilangan tertinggi dalam sektor tenaga kerja berlaku pada industri ritel dan layanan makanan. Pada September saja, sektor layanan makanan kehilangan 863.000 pekerja (6,6 persen), dan 685.000 orang (4,4 persen) mengundurkan diri dari pekerjaannya di sektor ritel.

Di sisi lain, ada 987.000 orang hengkang dari industri perhotelan; 984.000 meninggalkan industri perdagangan, transportasi, dan utilitas; serta 589.000 berhenti dari industri perawatan kesehatan.

Lowongan Bertebaran, Pengangguran Masih Jutaan

Sampai akhir September 2021, terdapat 10,4 juta lowongan pekerjaan bagi penduduk AS. Namun, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja AS, masih ada 7,4 juta pengangguran pada Oktober 2021.

Akan tetapi, dampak The Great Resignation terhadap tingginya ketersediaan lapangan kerja tidak sebesar efek berubahnya prioritas para pekerja selama pandemi.

“Ini terjadi karena faktor penawaran tenaga kerja ketimbang sisi permintaan tenaga kerja,” ujar ekonom dan profesor di Sekolah Pemerintahan Jonh F. Kennedy di Universitas Harvard, Jason Furman, kepada Fortune.com.