TECH

Industri Teknologi Perlu Kesetaraan Gender

Di balik peluang, banyak tantangan mengadang perempuan.

Industri Teknologi Perlu Kesetaraan GenderWomen with Impact by East Ventures (16/8)/Dok. EV

by Desy Yuliastuti

23 August 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE-Menandai momen penting, kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2022, East Ventures melalui diskusi Women with Impact membantu menegaskan peran perempuan, serta membantu startup yang dipimpin wanita di ekosistem teknologi dalam menavigasi tantangan yang mereka hadapi dan peluang di industri teknologi. 

Pembahasan akan kesempatan dan kesetaraan gender, kemajuan, dan perbaikan terus bergulir dan merupakan proses panjang yang melibatkan berbagai pihak dalam ekosistemnya.

Sebuah studi tahun 2020 yang dilakukan Boston Consulting Group (BCG) menunjukkan bahwa industri teknologi Asia Tenggara cukup beragam, dengan 32 persen perempuan di tenaga kerja sektor teknologi. Namun, bukan rahasia lagi bahwa hanya sebagian kecil startup di kawasan ini yang memiliki founder perempuan. Selain itu, perusahaan think tank fintech global, Findexable, hanya satu persen founder perempuan fintech yang menerima pendanaan secara global pada tahun 2021. Lalu, bagaimana perempuan berupaya memenangkan bisnis di industri teknologi?

Perlu platform untuk memfasilitasi founder perempuan

Sebagai founder perempuan pertama yang membangun fintech unicorn di Indonesia, Tessa Wijaya, Co-Founder & COO Xendit berbagi pengalaman dan perspektifnya tentang perjuangan dan pembelajaran membangun startup dari awal. Sebagai seorang founder perempuan, ia menyadari bahwa sangat sulit untuk membangun network untuk mengembangkan bisnisnya saat itu. 

Memiliki network sangat penting dalam membantu para founder untuk memahami hal sederhana seperti membuat deck, pitching, penggalangan dana, atau memperluas bisnis. Dia menemukan bahwa founder perempuan terkadang merasa tertinggal dibandingkan dengan founder laki-laki, karena tidak ada platform untuk memfasilitasi founder perempuan untuk berbagi dan belajar dari satu sama lain.

Dia juga menyebutkan bahwa mendapatkan bimbingan juga merupakan tantangan lain, karena hanya ada beberapa pemimpin wanita yang dapat dihubungi untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penggalangan dana, deck, dan valuasi perusahaan.

“Kekuatan network sangat penting. Tanpa dukungan sesama wanita, saya tidak dapat memanfaatkan rekan kerja dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis itu,” kata Tessa, Selasa (16/8).

Penguatan jaringan dan dukungan rekan

Sementara itu, Veronica Colondam, Pendiri dan CEO Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB) Foundation dan YCAB Ventures setuju bahwa network dan dukungan dari rekan penting untuk perkembangan para founder perempuan, dan membantu mereka mengembangkan bisnis. Oleh karena itu, ia terus aktif membuat inisiatif yang berdampak untuk membantu pengusaha perempuan di Indonesia selama 25 tahun. 

Dia mengikuti panggilannya untuk mendirikan yayasan YCAB dan YCAB Ventures, bergabung sebagai anggota dewan di program mentorship – Asian Venture Philanthropy Network (AVPN), dan Komisaris Independen di perusahaan keuangan mikro milik negara (Permodalan Nasional Madani – PNM) terbesar, dengan fokus pada investasi ultra mikro dan perempuan.

“Perempuan dan dampak hanyalah istilah antara dua dunia, sektor dampak dan sektor keuangan. Artinya jika apa yang Anda lakukan berdampak, maka itu hebat, itulah tujuan Anda. Tapi ingat dampaknya bagi umat Tuhan yang paling kecil, bagi orang-orang sampai ke garis bawah. Di dasar piramida. Apa yang dapat Anda lakukan melalui bisnis Anda untuk benar-benar meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Veronica.

Dalam topik kesempatan yang sama, Nicha Suebwonglee, Venture Capital Business Development Manager, ASEAN, di Amazon Web Services (AWS), memiliki pengalaman serupa ketika menjadi Co-Founder di startup OTT yang berbasis di Bangkok beberapa tahun lalu. 

Dia merasa sangat sulit untuk mendapatkan dukungan, tetapi situasi tersebut tidak membuatnya merasa rendah diri. Dari seluruh pengalamannya, dia belajar bahwa sebagai seorang wanita, ada kalanya kita merasa malu untuk mengutarakan pikiran, yang mengakibatkan kerugian.