TECH

Bisnis Chip Lesu, Laba Samsung Q4-2022 Terendah dalam 8 Tahun

Industri chip saat ini mengalami kelebihan pasokan.

Bisnis Chip Lesu, Laba Samsung Q4-2022 Terendah dalam 8 TahunGedung Samsung. (Unsplash/Babak)
09 January 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Samsung Electronics memperkirakan kinerja bisnisnya pada kuartal keempat 2022 akan mengalami penurunan tajam. Raksasa elektronik Korea Selatan ini mengaku terdampak oleh penurunan permintaan barang elektronik terutama semikonduktor dan ponsel pintar.

Dalam panduan pendapatan terbarunya, Samsung memprediksi laba operasionalnya pada periode tiga bulan yang berakhir Desember tahun lalu hanya mencapai 4,3 triliun won, atau turun 69 persen dari periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Secara nominal, laba perseroan terendah sejak 2014 atau delapan tahun terakhir.

Samsung memperkirakan untuk periode 2022, laba operasionalnya hanya turun 16 persen dalam setahun menjadi 43,4 triliun won. Namun, perusahaan optimistis pendapatannya tahun lalu masih dapat meningkat 7,9 persen menjadi 301,8 triliun won.

Perusahaan dengan logo warna biru itu mengutip masalah lemahnya permintaan untuk chip memori dan ponsel pintar. Padahal, dua barang itu merupakan sumber utama pendapatan perusahaan.

"Untuk bisnis memori, penurunan permintaan kuartal keempat lebih besar dari yang diharapkan karena pelanggan menyesuaikan persediaan dalam upaya mereka untuk memperketat keuangan, didorong oleh kekhawatiran atas memburuknya sentimen konsumen," begitu pernyataan Samsung dalam rilis resmi seperti dikutip dari Nikkei Asia.

Menurut manajemen Samsung, keuntungan dari bisnis ponsel pintar ikut menyusut seiring permintaan yang melandai. Hal tersebut ditengarai akibat masalah ekonomi makro yang berkepanjangan.

Situasi industri

Ilustrasi chip Samsung. Shutterstock/Ascannio

Kinerja buruk Samsung disinyalir terjadi karena kekhawatiran terhadap resesi. Terlebih, banyak negara yang diprediksi akan memasuki era pertumbuhan ekonomi negatif. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, menaksir sepertiga dunia akan berada dalam situasi kemerosotan ekonomi.

Para analis sebenarnya telah memperkirakan masalah penurunan permintaan chip dan ponsel pintar menjelang panduan kinerja terbaru dari Samsung.

"Alasan utama dari kinerja yang buruk adalah penurunan permintaan yang drastis," ujar Roko Kim, seorang analis di Hana Securities. "Pengiriman dan harga semikonduktor dan smartphone turun lebih jauh dari yang diharapkan, dan sangat mempengaruhi kinerja."

Dikutip dari Financial Times, para analis memperkirakan Samsung telah berkontribusi pada kelebihan pasokan chip saat ini. Pasalnya, perusahaan itu meningkatkan belanjanya untuk memproduksi chip demi mengejar pangsa pasar industri.

Masalah kelebihan pasokan diperburuk oleh sanksi pemerintah Amerika Serikat terhadap ekspor chip ke Cina. Masalah juga datang dari penundaan produksi iPhone di pabrik Foxconn di China karena wabah Covid-19. Apple merupakan pesaing Samsung, namun pada saat sama menjadi pelanggan besar untuk produk chip perusahaan.

Analis memperkirakan penurunan chip memori akan memburuk pada kuartal pertama 2023 sebelum pemulihan pada semester kedua. "Persediaan chip memori kemungkinan akan mencapai puncaknya pada kuartal kedua, tetapi harga chip kemungkinan akan pulih pada semester kedua," kata Kim Dong-won, seorang analis di KB Securities.

Namun, Samsung diperkirakan tidak mempertimbangkan pengurangan produksi. Buktinya, perusahaan pada Juli telah memulai produksi di pabrik domestik barunya di Pyeongtaek, salah satu fasilitas produksi semikonduktor terbesar di dunia. Perusahaan tersebut meningkatkan output chip memori sekitar 10 persen pada kuartal keempat, menurut eBest Investment & Securities.

Meski demikian, kemerosotan yang semakin dalam telah memicu spekulasi bahwa Samsung mungkin harus memangkas belanja modal.

"Kami pikir Samsung kemungkinan akan mengubah strategi belanja modal 2023 menjadi sikap yang lebih menunda dan menahan diri dari kenaikan belanja modal," kata Peter Lee, seorang analis di Citigroup, dalam sebuah laporan baru-baru ini.

Related Topics