TECH

Diterpa Kabar PHK Massal, Begini Kinerja Bisnis Induk Shopee

Sea Limited kuartal pertama tahun ini masih rugi.

Diterpa Kabar PHK Massal, Begini Kinerja Bisnis Induk ShopeeShopee. Shutterstock/Sergei Elagin
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Platform e-commerce Shopee dikabarkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Sejumlah lini bisnis Shopee, seperti ShopeeFood dan ShopeePay, disebut akan terdampak oleh langkah efisiensi tersebut.

Menurut sumber DealStreetAsia, Shopee memberhentikan staf di sejumlah wilayah operasionalnya karena ingin melakukan rasionalisasi bisnis e-commerce. Perusahaan itu telah mengirimkan email pemberitahuan kepada karyawan yang terkena PHK.

Dikutip dari Nikkei Asia, Selasa (14/6), sejumlah karyawan Shopee di Indonesia, Thailand, dan Vietnam bakal terkena kebijakan layoff tersebut. Fortune Indonesia telah menghubungi Shopee Indonesia untuk meminta konfirmasi. Namun, hingga berita ini tayang, manajemen Shopee Indonesia belum memberikan jawaban.

Shopee merupakan platform e-commerce besutan Sea Limited, perusahaan teknologi asal Singapura. Laporan keuangan Sea Limited menunjukkan perusahaan kuartal pertama tahun ini membukukan rugi mencapai US$580,14 juta atau lebih dari Rp8,53 triliun (asumsi kurs Rp14.700). Rugi tersebut melonjak 37,4 persen ketimbang US$422,09 juta pada periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Sea sesungguhnya berhasil membukukan kenaikan pendapatan 64,4 persen menjadi US$2,89 miliar atau setara dengan Rp42,62 triliun. Secara mendetail, pendapatan hiburan digital meningkat 45,3 persen menjadi US$1,14 miliar, e-commerce dan jasa lain tumbuh 94,2 persen menjadi US$1,49 miliar, serta pendapatan penjualan barang mencapai US$264,79 juta.

Namun, perseroan pada saat sama mengantongi beban yang cukup besar. Sebagai misal, beban pendapatan mencapai US$1,73 miliar. Itu belum termasuk beban penjualan dan pemasaran yang sebesar US$1,01 miliar, beban umum dan administrasi US$396,13 juta, dan beban penelitian dan pengembangan US$340,41 juta.

Beban yang besar inilah yang menyebabkan Sea Limited merugi meski pendapatan meningkat. Meski demikian, di saat sama, kas dan setara kas perseroan ini tercatat mencapai US$8,8 miliar atau lebih dari Rp129,36 triliun.

Pun demikian, pada indikator pesanan, terjadi kenaikan 71,3 persen menjadi US$1,9 miliar atau setara Rp27,93 triliun. Sedangkan, nilai barang dagangan kotor naik 38,7 persen menjadi $17,4 miliar atau lebih dari Rp255,78 triliun. Alhasil, Shopee membukukan kenaikan margin laba kotor, dengan pertumbuhan cepat dalam biaya berbasis transaksi dan pendapatan iklan yang menghasilkan margin lebih tinggi ketimbang layanan lain.

Gejolak makroekonomi

Sea Limited. Shutterstock/Wirestock CreatorsSea Limited. Shutterstock/Wirestock Creators

Selain melakukan PHK di Asia Tenggara, Shopee juga dikabarkan akan melepas bagian dari timnya di Meksiko, Argentina dan Chili, serta tim lintas batas yang mendukung pasar di Spanyol, menurut The Straits Times.

CEO Shopee, Chris Feng, dalam sebuah memo pada Senin (13.6), mengatakan perusahaan membuat beberapa penyesuaian untuk mengoptimalkan operasi di segmen dan pasar tertentu.

"(Mengingat) ketidakpastian yang meningkat dalam ekonomi yang lebih luas, kami percaya bahwa adalah bijaksana untuk membuat penyesuaian yang sulit tetapi penting untuk meningkatkan efisiensi operasional kami dan memfokuskan sumber daya kami," katanya.

Platform e-commerce tersebut akan mengakhiri uji coba tahap awal di Spanyol. Itu terjadi setelah Shopee keluar dari pasar Prancis pada Maret.

Menurut Feng, bisnis masih akan terus beroperasi seperti biasa, dengan Shopee di Meksiko, Argentina, Chili, serta ShopeeFood dan ShopeePay di Asia Tenggara. Dia menyebutkan komitmen perusahaan untuk mendukung pengguna, mitra, dan pedagang di pelbagai pasar tersebut.

Perusahaan teknologi besar seperti Sea tengah berada di bawah tekanan untuk meningkatkan profitabilitas di tengah kekhawatiran penurunan. Shopee, bagaimanapun, terus menghadapi beberapa hambatan makro, termasuk kenaikan inflasi dan suku bunga, yang berdampak ke sektor ritel dan konsumsi. Di sisi lain, investor yang terguncang oleh ketidakpastian di lingkungan makroekonomi, telah melarikan diri dari saham teknologi yang merugi dalam beberapa bulan terakhir.