TECH

Dugaan Penipuan Data, JP Morgan Gugat Pendiri Startup Fintech di AS

Frank diakuisisi oleh JP Morgan pada 2021.

Dugaan Penipuan Data, JP Morgan Gugat Pendiri Startup Fintech di ASIlustrasi JP Morgan Chase (reuters.com/Mike Segar)
13 January 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – JP Morgan Chase dilaporkan melayangkan gugatan hukum kepada Charlie Javice, pendiri perusahaan rintisan teknologi finansia,l Frank. Pasalnya, Javice diduga memalsukan data pengguna Frank untuk menggelembungkan valuasi perusahaan.

Padahal, JP Morgan baru saja mengakuisisi Frank pada September 2021 seharga US$175 juta. Namun, bank investasi asal Amerika Serikat tersebut belakangan mengetahui bahwa Frank melakukan fraud karena memalsukan data pelanggannya.

Laman Entreprenuer melansir, Jumat (13/1), JP Morgan secara resmi memperkarakan kasus tersebut di pengadilan Delaware pada Desember 2022. Perusahan jasa keuangan itu menyeret Javice dan Olivier Amar, para eksekutif tertinggi Frank.

Dalam gugatannya, perusahan jasa keuangan itu menuduh Javice telah melakukan penipuan yang dimulai pada 2021. Perempuan berusia 30 itu diduga mendekati bank untuk kepentingan akusisi perusahaaannya. Javice lantas mengeklaim bahwa startup miliknya memiliki 4,25 juta pengguna. Faktanya, jumlah pengguna perusahaan saat itu hanya 300 ribu.

“Daripada mengungkapkan kebenaran, Javice pertama-tama menolak permintaan [JPMorgan], dengan alasan bahwa dia tidak dapat membagikan daftar pelanggannya karena masalah privasi," begitu pernyataan JP Morgan dalam pengajuan gugatannya, seperti dilansir dari The Wall Street Journal. "Setelah [JPMorgan] bersikeras, Javice memilih untuk menciptakan beberapa juta akun pelanggan Frank dari seluruh jaringan."

Misi Frank

Ilustrasi Startup/ Shutterstock wowomnom

Menurut Fortune.com, jika ada satu masalah yang disukai seluruh anak muda Amerika Serikat, salah satunya bisa jadi adalah biaya pendidikan yang tinggi. Buktinya, utang pendidikan di negara tersebut mencapai US$1,6 triliun.

Maka, demi membantu mengatasi urusan tersebut, Charlie Javice, yang saat itu masih berusia 24, meluncurkan Frank. Dia berambisi untuk membuat pendidikan sarjana terjangkau, dan dapat diakses oleh semua orang.

“Biaya kuliah terlalu tinggi,” begitu pernyataan Javice dalam unggahan pribadi di LinkedIn pada akhir 2020. “Kami mendirikan Frank dengan semangat memberontak dan tujuan besar: Siswa harus membayar lebih sedikit untuk kuliah. Sesederhana itu.”

Dalam kurun waktu singkat, Frank beroperasi sebagai entitas independen. Startup tersebut melayani 5 juta siswa dengan merampingkan proses aplikasi bantuan siswa federal, menghubungkan siswa dengan peluang beasiswa dan mengadvokasi hibah darurat di tengah krisis pandemi. Berkat prestasinya, Javice masuk dalam daftar Forbes “30 Under 30” di industri keuangan pada 2019.

JPMorgan sangat menyukai Frank. Lantas, perseroan melalui unit perbankan komersialnya, Chase, mengakuisisi startup tersebut. “Kami ingin membangun hubungan seumur hidup dengan pelanggan kami,” kata Jennifer Piepszak, co-CEO perbankan konsumen dan komunitas di Chase, dalam sebuah pernyataan yang mengumumkan kesepakatan tersebut. 

Namun, menurut Forbes, JPMorgan saat ini menuntut Javice karena memalsukan 93 persen daftar kliennya.

Investigasi JP Morgan

Gedung JPMorgan
Shutterstock/Lewis Tse Pui Lung

Related Topics