Startup Ini Denda Karyawan yang Ganggu Rekan Kerjanya Cuti Rp18 Juta
Sejumlah perusahaan mendorong karyawan mengambil cuti.
Jakarta, FORTUNE – Selama Covid berlangsung dan sistem bekerja dari rumah (work from home/WfH) banyak diadopsi perusahaan, batas waktu antara bekerja dan waktu luang menjadi kabur. Karyawan acap kali harus bekerja lebih lama dari jam kantor yang seharusnya.
Bahkan, saat pekerja mengambil cuti pun, ada saja kemungkinkan waktu liburnya diganggu oleh rekan kerjanya. Namun, sebuah perusahaan rintisan di India memiliki solusi atas problem tersebut, sebagaimana dilansir Fortune.com, Rabu (11/1). Dream Sports, startup yang bergerak dalam bidang olahraga, memiliki kebijakan tidak populer: jika ada karyawan yang menganggu rekan kerjanya berlibur, yang bersangkutan akan dipecat.
Perusahaan itu bahkan akan mengutip denda US$1.200 atau lebih dari Rp18 juta jika ada pekerjanya yang menganggu rekan kerjanya yang tengah mengambil cuti.
Dream Sports memiliki program untuk karyawan bernama unplug atau secara longgar berarti memutus atau mencabut—biasanya terkait dengan colokan listrik. Selama program tersebut berlangsung, pekerja bersangkutan akan dikeluarkan dari sistem perusahaan, baik itu via Slack, email, atau telepon.
“Tidak ada yang mau cari perkara dengan menghubungi pekerja yang sedang [dalam program unplug],” kata founder sekaligus COO Dream Sports, Bhavit Sheth. Menurutnya, pimpinan perusahaan menerapkan “waktu liburan” tersebut untuk ikut memastikan bahwa perusahaan tidak bergantung pada seorang karyawan pun, termasuk para eksekutif tertinggi.
Gangguan cuti
Pekerja yang cuti, tapi mendapat gangguan dari rekan kerjanya agaknya merupakan masalah di tingkat global. Di Amerika Serikat, misalnya, 50 persen karyawan perusahaan bekerja setidaknya satu jam sehari meski tengah mengalami waktu libur, menurut laporan dari Qualtics. Bahkan, hampir 25 persen mengaku bekerja setidaknya tiga jam sehari.
Sementara, lebih dari 30 persen pekerja AS mengaku bosnya berharap mereka dapat menjawab panggilan telepon saat beristirahat.
Beberapa pemerintah bahkan membuat undang-undang untuk meminta perusahaan berhenti mengirim pesan kepada karyawannya selama kurun rehat. Pada 2017, Prancis memberi pekerja "hak untuk memutuskan hubungan", yang mengharuskan perusahaan menetapkan periode ketika karyawan tidak diharuskan mengirim atau menerima email.
Spanyol, Italia, Portugal, Jerman, dan Skotlandia telah menetapkan aturan serupa yang memaksa pemberi kerja untuk menentukan kapan karyawan dapat bebas dari pesan yang berkenaan dengan pekerjaan.
Dorongan untuk cuti
Dalam kasus Amerika Serikat, negara itu merupakan salah satu yang terburuk dalam hal memberikan cuti berbayar kepada karyawan, menurut studi dari platform sumber daya karier, Resume.io.
Pekerja negara tersebut hanya mendapatkan rata-rata 10 hari libur berbayar dalam setahun. AS juga tidak mewajibkan perusahaan untuk menawarkan cuti berbayar sama sekali, tidak seperti banyak negara maju lainnya.
Namun, beberapa perusahaan seperti Netflix dan Goldman Sachs, menawarkan cuti berbayar tidak terbatas untuk memberi pekerja fleksibilitas dalam menikmati masa istirahat selama mereka membutuhkan.
Jajak pendapat Harris yang dilakukan untuk Fortune pada Februari 2022 menunjukkan sekitar setengah dari pekerja AS akan menerima gaji yang lebih rendah sebagai imbalan atas kebijakan cuti tanpa batas.
Meski demikian, para ahli memperingatkan bahwa perusahaan dapat menetapkan ekspektasi yang salah tentang kapan karyawan benar-benar dapat mengambil cuti. Sebagai bukti, satu perusahaan di Inggris menemukan karyawannya mengambil cuti lebih sedikit meski ada kebijakan cuti tak terbatas. Itu juga tidak sesuai dengan peraturan yang disyaratkan pemerintah. Pada akhirnya, perusahaan menghapus kebijakan tersebut.