TECH

Studi Ungkap Bitcoin Makin Tak Ramah Lingkungan, Berikut Faktanya

Emisi karbon justru meningkat 17 persen.

Studi Ungkap Bitcoin Makin Tak Ramah Lingkungan, Berikut FaktanyaIlustrasi Bitcoin fisik. (Shutterstock/Kitti Suwanekkasit)
01 March 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Bitcoin masih menyimpan kontroversi terutama soal dampak lingkungan dari aktivitas penambangannya. Sebuah studi yang baru terbit di jurnal Joule menyebutkan emisi karbon Bitcoin justru menjadi lebih buruk lebih-lebih usai Cina melarang penambangan aset kripto itu tahun lalu.

“Kami benar-benar melihat Bitcoin menjadi kurang hijau dari sebelumnya,” kata Alex de Vries, penulis utama laporan tersebut, seperti dikutip dari The Verge, Selasa (1/3).

Dalam studi yang bertajuk Revisiting Bitcoin’s Carbon Footprint ditemukan bahwa larangan penambangan Bitcoin dari pemerintah Cina agaknya tidak berkontribusi terhadap pengurangan jejak karbon.

Sebaliknya, emisi karbon justru meningkat 17 persen.

Secara sederhana, emisi karbon dari Bitcoin ini datang dari aktivitas penambangan aset digital tersebut. Aktivitas dimaksud yaitu penambahan catatan transaksi secara digital ke dalam blokchain Bitcoin.

Namun, pencatatan itu membutuhkan daya komputasi yang besar yang terintegrasi dalam pusat data. Dengan begitu, tempat tersebut menyedot energi secara intensif.

Pindah ke AS dan Kazakhstan

Cina adalah wilayah utama bagi penambang Bitcoin pada Mei tahun lalu, dengan menyumbang lebih dari 60 persen operasi penambangan seluruh dunia. Namun, setelah pemerintah setempat melarang aktivitas penambangan, pangsa jaringan penambangan Cina turun menjadi mendekati nol persen pada Agustus.

Para penambang lantas berpindah ke sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Rusia, dan Kazakhstan. Saat ini, AS dan Kazakhstan adalah dua hub terbesar untuk penambangan Bitcoin.

Masalahnya, Kazakhstan bergantung pada batu bara keras (hard coal) yang melepaskan lebih banyak emisi karbon ketimbang jenis batu bara lainnya. Selain itu, negara sama juga merupakan rumah bagi pembangkit listrik yang kurang efisien, yang mungkin turut berkontribusi pada peningkatan emisi.

Sementara itu, AS sangat bergantung pada pasokan gas alam, diikuti oleh batu bara, untuk menunjang kebutuhan listriknya.

“Studi secara umum menyoroti bagaimana penambangan Bitcoin menjadi lebih kotor setelah tindakan keras penambangan Cina tahun lalu. Banyak penambang tenaga air yang sebelumnya memiliki akses kini telah digantikan oleh gas alam (di AS). Selain itu, listrik berbasis batu bara di Kazakhstan juga lebih kotor daripada listrik berbasis batu bara Cina,” ujar de Vries.  

Porsi energi Bitcoin

Secara keseluruhan, kontribusi energi baru terbarukan—seperti air, surya, dan angin—pada jaringan penambangan Bitcoin sekarang hanya 42 persen, turun tajam dari 25 persen sebelumnya, demikian Fortune.com.

Laporan tersebut menemukan bahwa penambangan Bitcoin menghasilkan 558 gram karbon per kilowatt-jam pada Agustus tahun lalu. Sebagai perbandingan, pada 2020 jumlahnya hanya 478 gram karbon per kilowatt-jam.

Bitcoin turut menyumbang 0,12 persen emisi karbon dunia, menurut laporan sama. Angka tersebut bahkan lebih besar dari emisi karbon di bagian negara Yunani.

De Vries menyimpulkan bahwa para pelaku industri kripto perlu untuk segera mempercepat upaya dekarbonisasi—meski terdapat keraguan bahwa ikhtiar menghijaukan Bitcoin bisa jadi salah satu “mitos besar” di dunia keuangan.

Related Topics