TECH

Layar Terkembang Industri Siniar Nasional

Rebut potensi pasar, industri podcast siap memupuk modal.

Layar Terkembang Industri Siniar NasionalIlustrasi Podcast/Fortune Indonesia Achmad Bedoel
06 May 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Konten siniar kian digandrungi dan menjadi magnet bagi investor. Berbagai strategi bisnis yang dirancang konten kreator, platform, hingga perusahaan IP membuat industri ini kian semarak.

Bagi pelawak tunggal asal Surabaya, Firza Valaza, aforisme seeing is believing tak selamanya jitu. Sebab, setahun lebih bergelut di dunia siniar alias podcast, dia membuktikan medium suara belaka tetap bisa bikin orang bungah. 

Padahal debutnya sebagai podcaster—istilah bagi pelaku podcast—diawali keraguan. Sebab, dia terbiasa bermain dengan gestur dan mimik (visual) ketimbang intonasi (verbal). Jika perlu, dia sudi menampar muka sendiri di hadapan penonton—seperti yang sontak dilakukannya dalam sesi wawancara dengan Fortune Indonesia (18/3)—untuk memberi contoh. "Lumayan lucu, kan?" ujarnya sembari terkekeh usai kelebat tangannya memicu suara plak cukup keras. Di ruang rekaman, aksi ganjil dan acak semacam itu belum tentu sanggup memancing tawa. 

Adalah Dono Pradana, rekannya sesama komedian, yang pertama kali mengajak sekaligus meyakinkannya untuk membuat podcast tahun lalu. Firza menyanggupi pinta itu lantaran sudah merasa klop dengan Dono. Selain tergabung dalam klub lawak yang sama, Comedy Sunday, mereka juga langganan menerima job jadi MC di Surabaya.

Duet itu kemudian tersambar tawaran kontrak untuk memproduksi konten orisinal. Datangnya dari NOICE, platform konten audio milik PT Mahaka Radio Integra (MARI). Pada 9 Maret 2021, mereka mulai mengudara dengan nama Lambemu. Seperti namanya, yang dalam bahasa Jawa berarti “mulutmu”, siniar mereka berisi gunjingan tentang pengalaman menyebalkan para bintang tamunya. Bedanya, gibah itu dilakukan dengan dialek Suroboyoan.

"Kalau di Surabaya, misalnya ada tetangga ngomong enggak enak, itu kita biasa jawab: lambemu!" ujar jebolan kompetisi Stand Up Comedy Kompas TV tersebut. "Mengumpat, tapi enggak terlalu kasar. Sehingga sinyal (keresahan) itu yang kita tangkap."

Saat tulisan ini dibuat, Lambemu sudah merilis 48 episode, memiliki 34.000 pengikut, dan menempati daftar podcaster papan atas NOICE. Firza bersumbar pendengar Lambemu bukan hanya dari Indonesia, tapi juga mancanegara meski materinya berbahasa daerah. Surabaya menjadi salah satu kota dengan pendengar NOICE terbanyak di Indonesia, selain Jakarta dan Makassar. 

Memupuk modal besar

Ilustrasi startup. Shutterstock/Indypendenz

Dalam dua tahun terakhir, industri siniar di Indonesia dapat digambarkan seperti kapal dengan layar terkembang. Menurut survei Populix (2020), lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia telah mengakses podcast. Ke depan, arah angin bisnis agaknya bakal lebih bersahabat.

Studi Research and Market bertajuk Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020-2026 menaksir bahwa empat tahun ke depan jumlah pendengar podcast di Asia Tenggara mampu menembus 500 juta. Angka tersebut mencerminkan peningkatan 200 persen lebih dibandingkan jumlah pendengar siniar di negara-negara Asean tahun lalu yang berkisar 163 juta. 

“Sementara itu, secara global negara-negara yang akan memiliki pendengar besar adalah Filipina, Indonesia, Jepang, India, hingga Korea Selatan,” kata Senior Press Manager Research and Market Laura Wood atas studi tersebut.

Meski demikian, Chief Executive Officer (CEO) NOICE, Rado Ardian, mengatakan peningkatan tren pendengar siniar sebenarnya sudah meningkat tiga tahun silam. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari bermunculannya para kreator konten audio baru di Indonesia.

Itu pula yang akhirnya mendorong NOICE melebarkan sayap bisnis dari semula hanya platform radio digital menjadi wadah yang turut menampung para podcaster. Sejak 2019 hingga saat ini, kata Rado, ada lebih dari 300 konten kreator yang meluncurkan siniar mereka di NOICE.

Bak gayung bersambut, jumlah pengguna NOICE terus tumbuh meski harus berhadapan dengan pemain lama dengan skala bisnis global seperti Spotify, Google Podcast, dan iTunes seiring dengan pembenahan yang dilakukan perusahaan.

"Pendengar kami hampir 2 juta saat ini. Akhir 2020 masih 500.000. Jadi, sejak akhir 2020 sampai sekarang, kami sudah tumbuh nyaris 4 kali lipat," ujar pria yang telah berkarier di Google dan YouTube Asia Pasific selama satu dekade itu.

Keseriusan NOICE dalam menggarap bisnis podcast dan konten audio juga menjadi magnet bagi investor. Pada 19 Januari lalu, misalnya, RANS Entertainment besutan Raffi Ahmad menyuntikkan pendanaan sebagai penanda awal kolaborasi kedua perusahaan. Sayang Rado belum bisa mengungkapkan angka persisnya. Namun sejumlah media menyebut kisaran US$2,5 juta atau setara Rp35,75 miliar.

Pada awal September 2021, pendanaan Pra-Seri A digelontorkan oleh Alpha JWC Venture dan Go-Ventures. Dalam investasi putaran awal ini, firma modal ventura seperti Kinesys Group, Kenangan Fund, dan beberapa angel investor lain menyertai.

PT Multipolar Tbk (MLPL) juga tak mau ketinggalan. Tak lama setelah Alpha JWC dan Gojek masuk, holding multisektor milik Lippo Group itu mengucurkan investasi ke NOICE lewat pembelian sejumlah ekuitas atau saham Mahaka. Dalam keterangan resminya, perseroan menyatakan konten orisinal dan unik yang dimiliki NOICE jadi salah satu pertimbangan penempatan modal.

Konten tulen dan eksklusif memang jadi cara NOICE memancing banyak pengguna. Umpannya adalah para pewara yang sudah beken di radio hingga televisi.

Selain Firza dan Dono, mereka yang disebut Rado sebagai NOICE Maker itu antara lain Pandji Pragiwaksono (Hiduplah Indonesia Maya), Uus dan Dicky Difie (Udik), Tretetan Muslim dan Coki Pardede (Musuh Masyarakat), Awwe dan Randhika Djamil (Berizik), hingga Husein Ja'far Al Hadar (Berbeda Tapi Bersama).

Total 20 konten orisinal dan eksklusif sudah tayang di NOICE. Tahun ini, kata Rado, jumlahnya akan bertambah dengan masuknya Arif Muhammad, Raffi Ahmad, Deddy Mahendra Desta, Vincent Rompies, dan Andre Taulany.

Berkaca dari strategi YouTube dalam meningkatkan pangsa pasar di Indonesia, para goliat industri hiburan itu juga diharapkan bisa membuat konten kreator lain tertarik menjadi NOICE Maker di luar konten orisinal dan eksklusif. 

"Kami melihat dari YouTube tahun 2014-2015. Waktu (baru masuk Indonesia) di awal 2010-an, mereka masih belum unggul. Cuma ada Raditya Dika dan lain-lain, yang kalau kata orang-orang mereka itu old generation YouTube. Tapi jumlah penonton mulai jadi besar ketika Raffi Ahmad masuk, Baim Wong masuk, artis-artis besar masuk juga," katanya.

Putri Syifa (25) adalah contoh pendengar yang kepincut dengan konten orisinal NOICE. Penyuka stand-up comedy itu mengunduh aplikasi setelah tahu idolanya, Pandji Pragiwaksono, jadi salah satu pewara di platform tersebut. "Paling suka sama Pandji di episode (Bukan) Paris Fashion Week," ujarnya.

Dia mengaku nyaman mendengarkan podcast karena sifatnya yang multi-task friendly. Biasanya, ia memutar konten audio itu sambil berselancar di media sosial saat sedang dalam perjalanan, atau ketika mengerjakan tugas-tugas kantor yang dibawa pulang. "Sehari bisa dengerin podcast sampai dua hingga lima jam kalau lagi bosan," katanya.

Syifa juga jadi gambaran demografi pendengar podcast Indonesia yang didominasi milenial dan generasi Z. Hasil sigi yang dirilis Jakpat (Jajak Pendapat)—platform survei terbuka di internet—pada Maret tahun lalu menunjukkan, sekitar 22,1 persen pendengar podcast di Indonesia berusia 15-19 tahun. Kemudian, untuk rentang umur 20-24 tahun, persentasenya 22,2 persen. 

Selanjutnya, persentase pendengar untuk rentang umur 20-24 tahun mencapai 22,2 persen, 25-29 tahun sebesar 19,9 persen, 30-34 tahun mencapai 15,7 persen, 35-39 tahun menyentuh 11,8 persen, dan 40-44 tahun dapat 8,4 persen.

“Beyond Podcast”

Ilustrasi Podcast/Shutterstock Alex from the Rock

Related Topics