Jakarta, FORTUNE – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang diperuntukkan bagi beberapa subsektor industri manufaktur dirasa masih kurang optimal. Pasalnya, terdapat beberapa permasalahan dalam implementasinya.
Permasalahan pertama yang dihadapi dalam penerapan kebijakan HGBT adalah harga gas bumi yang harus dibayarkan oleh industri penerima masih melebihi ketentuan. Pasalnya, lebih dari 95 persen perusahaan yang ditetapkan sebagai penerima HGBT berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 91 tahun 2023 masih menerima harga gas bumi di atas US$6 per MMBTU (million british thermal unit).
“HGBT terus naik setiap kali ada penetapan baru. Selain itu, harga gas bumi tertentu yang diterima oleh perusahaan tidak seragam/tidak sama meskipun berada dalam satu wilayah yang sama,” kata juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, dalam keterangan pers yang dikutip Jumat (4/8).
Sebagai contoh, di wilayah Jawa Bagian Barat PT Indo Bharat Rayon mendapat HGBT USD6,61/MMBTU, PT Asahimas Chemical mendapatkan HGBT sebesar USD6,5/MMBTU, sedangkan PT Trinseo Material USD6,73/MMBTU.
Masalah lainnya, industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi tertentu. Pada 2022 terjadi pembatasan kuota di Jawa Timur antara 61–93 persen kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota ditetapkan pada hampir seluruh perusahaan.
Sedangkan di Jawa Bagian Barat, selama 2022 volume gas bumi yang ditagihkan dengan harga sesuai keputusan Menteri ESDM adalah antara 89–97 persen.
“Jika industri memakai lebih dari 89 persen, maka sisanya harus dibayarkan dengan harga normal,” kata Febri.