Jakarta, FORTUNE - Keinginan perempuan Indonesia untuk kembali bekerja setelah jeda karier (career break) ternyata sangat besar. Survei Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) menunjukkan 98 persen perempuan ingin kembali bekerja setelah berhenti karena alasan keluarga, kesehatan, atau peran pengasuhan. Namun terbatasnya peluang, minimnya dukungan lingkungan kerja, hingga hilangnya kepercayaan diri membuat mereka sulit kembali ke jalur profesional.
Wita Krisanti, Executive Director IBCWE, menjelaskan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan memang meningkat, namun masih timpang. “Tahun ini partisipasi perempuan di dunia kerja ada di angka 55–56 persen, naik dari 53–54 persen pada 2024. Tapi 20 tahun sebelumnya angkanya nyangkut di situ-situ saja,” ujar Wita dalam Media Gathering “Beauty That Moves: Career Reconnect Program” yang digelar L’Oréal Indonesia bersama IBCWE pada Jumat (12/12).
Lebih jauh, ia menyoroti bahwa hanya 36 persen perempuan bekerja di sektor formal, sementara sisanya berada di sektor informal dengan pendapatan dan perlindungan kerja yang tidak stabil. Oleh karena itu, penting ada strategi baik dari sisi individu maupun perusahaan untuk membantu perempuan kembali bekerja
Menurutnya, ketimpangan ini dipengaruhi norma gender yang masih kuat di Indonesia. “Masih ada anggapan bahwa perempuan adalah penanggung jawab utama tugas pengasuhan, sementara laki-laki pencari nafkah. Bahkan pekerjaan tertentu dianggap lebih cocok untuk laki-laki,” ujarnya.
Selain itu, budaya yang menempel pada perempuan mengenai ambisi dan kepemimpinan juga masih terasa. “Bahkan di 200 emiten terbesar, hanya ada sembilan CEO perempuan. Semoga tahun ini bertambah,” kata Wita.
Data juga menunjukkan bahwa mayoritas perempuan yang mengambil jeda karier berada pada level staf, mencapai 60 persen dari total responden. Proporsi tersebut menurun signifikan pada jenjang yang lebih tinggi: hanya 16 persen pada level supervisor, 8 persen pada tingkat manajerial menengah, dan sisanya 2 persen di level eksekutif. Angka ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi posisi seorang perempuan dalam organisasi, semakin kecil kemungkinan mereka mengambil career break, sebab konsekuensi profesional yang ditanggung cenderung lebih besar.
